BAB 43

1.4K 123 116
                                    

Ketika Gibran sudah sampai di rumah Sherin, pandangannya tertuju pada bangku depan rumah. Di mana sebelum ia pergi, tak ada bangku yang sekarang tergeletak di samping aquarium—berisikan ikan dengan dominasi warna oranye. 

Mendengar suara Sherin, membuat Gibran mengalihkan pandangannya dari bangku itu. Ia sampai lupa pada Sherin yang kini melirik tajam ke arahnya. Ia lantas membantu Sherin untuk duduk di kursi rodanya dan mendorongnya masuk ke rumah.

Nampak di ruang tamu, Rina dan Elsa sedang berbincang-bincang. Tak jarang mereka tertawa, bahkan di sana tidak hanya mereka berdua saja. Melainkan ada Alex yang masih lengkap dengan baju kerjanya.

"Sudah pulang kalian? Gimana tadi jalan-jalannya?" tanya Elsa.

Sherin hanya tersenyum menanggapi perkataan Elsa. Ia kemudian mendorong kursinya untuk sampai di sebelah bundanya. Sementara Gibran ia hanya menjawab singkat, yang terdiri dari dua huruf membentuk kata "ya".

Dengan tangan yang tengah menyelipkan rambutnya, Sherin bertanya kepada bunda. "Bun, itu tadi di depan kok ada bangku panjang? Perasaan pas aku berangkat nggak ada tuh," ujarnya bertanya-tanya.

"Oh, itu dari teman kamu lho. Tadi nganterin ke sini, katanya buat hadiah gitu."

Bukan hanya Sherin yang heran, tetapi Gibran pun merasakan hal yang sama. Bahkan tanpa sadar ia menautkan kedua alisnya dan menggigit bibir bawahnya, karena berusaha berpikir. Walau menit setelahnya ia tersadar akan mimik wajahnya tadi dan bersikap seperti biasa.

"Siapa emangnya, Bun?"

"Nah itu bunda juga nggak tahu, orang pas ditanyain dia nggak mau jawab malah langsung pergi gitu. Kalau nggak percaya, tanya saja sama Tante Elsa."

Elsa terlihat menganggukkan kepalanya. "Benar Sherin, tapi temen yang nganterin ke sini itu cowok lho. Apa jangan-jangan itu pacar kamu, ya?"

"Eh, aku nggak punya pacar, Tan. Mungkin dia teman sekelas aku." Sherin menggaruk tangannya yang sebelah kiri, karena memang gatal. Beruntung Tante Elsa tidak memperpanjang pembahasan ini, sehingga dirinya merasa aman.

Namun, perkataan tadi semakin membuat Sherin penasaran. Siapakah dia sebenarnya? Apa mungkin dirinya dekat dengan si pengirim bangku itu? Atau malah belum pernah ketemu.

"Siapa sih dia? Kok tahu kalau aku lagi pengen bangku," gumam Sherin.

"Kamu pengen bangku?" tanya Alex yang tak sengaja mendengar gumaman putrinya.

"Eh, nggak kok, Yah. Kata si–siapa?"

"Itu tadi kamu ngomong sendiri kan?"

"Ayah salah denger kali. Ya udah, Yah. Aku mau istirahat dulu di kamar. Tante Elsa, aku ke kamar duluan, ya, Tan."

"Iya, banyak-banyak istirahat kamu Sherin.  Biar cepat sembuh dan bisa main atau  jalan-jalan sama anak Tante." Elsa melirik ke arah Gibran yang juga menatapnya intens. Rasanya senang ketika menggoda putra semata wayangnya itu.

Tak lama setelah Sherin kembali ke kamarnya, Gibran dan mamanya memutuskan untuk pulang karena sebentar lagi langit akan benar-benar gelap. Padahal tadi Rina sempat menawarkan untuk makan malam bersama, tetapi ditolak halus oleh Elsa.

Dalam mobil, hanya ada keheningan sebab Gibran yang fokus memperhatikan jalanan dengan tangan yang menyetir mobil. Sementara mamanya terlihat sedang berkaca, untuk membantunya mengambil sesuatu yang mengganjal di matanya.

Usai mengedipkan sebelah matanya yang tadinya terasa perih, Elsa kembali memasukkan cermin dalam tas warna ungu yang kini di pangkuannya.

"Kamu kenal Sherin sudah lama atau baru-baru ini, Gibran?" tanya Elsa.

Formal Boy (END) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora