BAB 49

1.6K 126 121
                                    

"Apa mama yakin dengan keputusan mama itu?" tanya Gibran.

Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hati Gibran, ia tidak menginginkan mamanya melakukan hal itu. Gibran tidak ingin mamanya merasakan pahitnya hidup dalam penjara, tentunya ia juga tak mau bila harus berpisah dengan orang tua satu-satunya yang ia punya sekarang.

"Yakin, Sayang. Besok habis kamu pulang sekolah, temani mama untuk ke rumah Arinta dan meminta maaf kepada mereka."

"Sebenarnya, Gibran tidak rela mama melakukan hal itu."

Elsa hanya menanggapinya sambil tersenyum. Setelahnya, Elsa berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Gibran yang masih terdiam tanpa pergerakan.

"Apa yang harus saya lakukan?"
gumam Gibran.

-----

Di sekolah, konsentrasi Gibran buyar dan lagi-lagi karena masalah yang terjadi di keluarganya. Contohnya sekarang, ia sedang melakukan rapat bersama anggota OSIS lainnya. Namun, pikirannya melayang pada apa yang akan terjadi nanti setelah pulang sekolah.

"Oke, pembahasannya kita lanjutkan nanti," ujar Tasya yang sedari tadi memimpin jalannya rapat.

Ketika anggota lain tengah sibuk dengan urusannya masing-masing, Tasya mendekat ke arah Gibran lantas memegang pundak Gibran, membuat dia kaget.

"Gib, lo lagi ada masalah pribadi, ya? Sebelumnya sorry kalau gue ikut campur, soalnya tumben tadi lo banyak nggak konek sama rapat. Nggak biasanya juga lo kayak gini," ungkap Tasya.

Gibran hanya terdiam, membuat Tasya semakin yakin jika Gibran tengah menghadapi masalah yang menimpanya.

"Oh, ya gue cuma mau ngingetin kalau bentar lagi bakalan ada PAT, kalau misal lo lupa. Sama satu hal lagi, sesulit apa pun masalah yang lo hadapi, jangan sampai hal lain lo abaikan dan gue yakin if you can do it all."

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, tepatnya satu Minggu lagi SMA Dharmawangsa akan mengadakan penilaian akhir tahun. Sementara untuk yang kelas dua belas, ujian penentuan kelulusan akan berlangsung setelah kegiatan PAT berakhir.

"Terima kasih, Anda sudah banyak membantu saya dalam menjalankan tugas, selama saya menjabat sebagai ketua OSIS tahun ini."

Tasya tersenyum mendengarnya, akhirnya Gibran mau berbicara dengannya. "Sama-sama, gue di OSIS ini juga punya tanggung jawab. Ya kali gue biarin lo urus semuanya sendiri, terus apa gunanya gue sebagai wakil? Udah, ah! Gue mau ke kantin dulu beli minum. Lo mau nitip nggak?"

"Tidak perlu."

"Oke, kalau gitu gue ngantin dulu."

Kepergian Tasya dari ruangan OSIS, membuat Gibran kembali terngiang perkataan Tasya beberapa menit yang lalu. Sesulit apa pun masalah yang lo hadapi, jangan sampai hal lain lo abaikan. Kata-kata itu memang benar. Jangan hanya karena satu masalah, hal lain terabaikan dan mungkin akan timbul masalah baru.

Rencananya, Gibran akan menemui Arinta sebelum ia pulang ke rumah. Gibran ingin mencoba membicarakan tentang apa yang terjadi di masa lalu.

Usai rapat benar-benar selesai dilakukan, Gibran keluar dari ruangan OSIS menuju kelasnya. Namun, tercegah oleh Deni yang tiba-tiba memanggilnya dari arah belakang.

"Gib, lo udah tahu kabar tentang si Reza?" tanya Deni dengan napas tak beraturan.

"Belum. Memangnya kenapa dengan dia?" Gibran bertanya balik kepada Deni.

"Dia jadian sama si Tasya."

Seketika raut wajah Deni yang tadinya tegang kini berubah. Ia tertawa melihat ekspresi kesal dari sahabatnya itu.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now