Zeven - Zoeken (Pencarian)

45.7K 3.8K 247
                                    

Sepulang dari Buitenzorg, Papa murka bukan kepalang. Begitu tahu Mama Rukmini pergi tanpa sepenggal informasi, ia berteriak memaki para pekerja yang dirasa tak becus mengawasinya. Bahkan Mama kena imbas pula. Ia hanya duduk diam, tenang, mendengar gerungan marah Papa. Terlibat percekcokan di antara keduanya. Aku hanya mengintip di atas tangga, duduk bersendang dagu. Tangan Papa digerakkan menunjuk-nunjuk. Dimarahinya Mama menggunakan Melayu kasar. Tudingannya yang menganggap Mama sengaja membiarkan Mama Rukmini pergi membikin Mama berontak kali ini. Ia berdiri menegakkan dagu, seakan menantang Papa yang jauh lebih tinggi dan besar dibanding tubuh mungilnya. Amarah seperti menyembur dari air mukanya. Matanya yang nanar tampak olehku menyimpan rasa kesal yang ia pendam cukup lama.

"Jika aku sengaja membikin dia pergi, mana sudi aku meminta padamu seperti tak lagi punya harga diri, memohon agar kau tak mengusirnya. Apa sebab kini kau mencarinya, heh?" Mama berkacak pinggang, berkata dalam Melayu kasar yang tidak enak di dengar telinga.

"Tiada kabar dia sampaikan padaku, bukankah itu kurang ajar?"

"Dia sendiri yang ingin pulang ke kampung halamannya. Itu urusannya. Aku tak punya urusan menghentikannya."

Aku sudah akan beranjak pergi masuk ke kamar ketika namaku disebut, membikin langkah kakiku terhenti di ujung tangga. Kudengar lagi pembicaraan antara mereka. Kukira tentang pengembalianku ke Utrecht, rupanya persoalan lain.

"Tuan de Witt ingin bertemu dengan anak perempuanku. Helenina, sebagai kesayanganku, akan kubawa dia dan kuperkenalkan pada ambtenar pemerintah sekaligus makelar kopi di Buitenzorg itu. Tuan de Witt berteman baik dengan Tuan Residen. Siapa sangka hubungan baik dapat dibina."

"Jika maksudmu adalah menyodorkan anak perempuanku pada Tuan de Witt, kau pikir aku, sebagai ibu kandungnya, akan sudi?" nada Mama berubah sarkastis.

"Hey, bagaimana kau bisa berpikiran macam itu?" Papa berkacak pinggang. "Mana mungkin aku memberikan anak kesayanganku pada si tua itu? Ini hanya soal bisnis dan kerja sama. Tuan de Witt sudah terlalu tua untuk memperistri lagi. Aku pun tiada sudi menyerahkan anak kesayanganku padanya."

"Biarpun sudah beristri dan punya banyak Nyai, kau pikir dia tak punya rencana memperistri anakmu, hah? Coba berkacalah, Pieter. Kau pun tak jauh beda dengannya. Semua lelaki Eropa sama saja." Mama meludah jijik.

"Kau terlalu mengada-ada. Kutekankan, Helenina akan baik-baik saja. Besok akan kuajak dia berkunjung ke Buitenzorg."

Segera kuhentak kakiku menjauhi perbincangan mereka. Aku menutup pintu kamar perlahan. Punggung kusandarkan pada pintu. Segala prasangka berkelebatan seperti bayangan di pikiranku. Bukan soal apakah Tuan de Witt berniat memperistriku, melainkan masalah lain, seperti kisah yang banyak kudengar dari Elien. Apabila aku tak mengikuti perintah Papa, ia bisa berang dan Mamalah korbannya.

*

Kereta kuda yang membawa Papa, aku, dan Elien memasuki jalan setapak yang diapit oleh perkebunan teh luas. Perkebunan itu dikelola Papa dan menghasilkan daun-daun teh berkualitas yang nantinya dikirim ke Nederland. Suatu saat, Papa memintaku ikut mengelola salah satu perusahaannya. Hendak ia berikan padaku perkebunan ini lengkap dengan kuda-kuda yang dipiara sejak lama. Sedang Jasper akan kebagian jatah perusahaan di kota lain, barangkali di Batavia. Kakak-kakak perempuanku yang telah matang diberi pengetahuan tentang administrasi. Mereka sudah mampu membantu Papa mengelola perusahaan lain di beberapa kota. Kiranya, kendati hanya aku yang bersekolah tinggi, Papa tentu memiliki sisa perusahaannya untuk kumiliki. Bahkan ia berkata, aku boleh mendapatkan perusahaannya di Surabaya juga. Aku hanya tersenyum simpul tanpa berkata-kata. Sebab aku sama sekali tak memiliki minat pada dunia bisnis.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now