Vijfentwintig - Het Huis van Vlinders (Rumah Kupu-Kupu)

34.9K 3K 182
                                    

    Papaku pernah berkata, keberanian terbesar manusia salah satunya adalah memilih. Sebab manusia bila dihadapkan pada dua opsi yang tak memungkinkan untuk dipilih, satu dekade penuh rasanya tak mampu memberinya waktu. Tante Sarah lenyap dari hadapanku dan menyerahkan putrinya untuk kuawasi. Sambil mengobrol bersama koleganya lewat ponsel, ia melenggang anggun mengakhiri perang dingin di antara kami beberapa waktu lalu. Tinggallah aku di sini, memerhatikan Rinai yang tak lekas membuka matanya seraya menunggu respon Gracia. Tentu aku tak mungkin terus-menerus berada di sini. Biarpun aku iba dan masih memedulikan nasibnya yang malang, aku punya kehidupan sendiri. Siapa lagi yang dapat kupercayai untuk mengawasinya selain Gracia?

    Sepanjang malam itu pula aku tiada mengistirahatkan diriku. Bukan sekali ini saja mataku menyoroti jarum jam dinding di ruang tengah ini. Tak berselang lama, perhatianku beralih menuju pintu kala bunyi bel akhirnya menghentikan penantianku. Membuka pintu, aku lihat Gracia berdiri seraya celingukan, tampak mencari-cari sesuatu.

    "Maaf mengganggu waktu istirahatmu," sesalku. "Saya nggak mungkin mengulur waktu terlalu lama, kan?"

    Ia hanya memberikan senyuman. Kubuka pintu makin lebar mempersilakan ia masuk. Sebut aku tak tahu etika mengganggunya dengan meminta ia datang kemari. Aku tak bisa diajak bersabar. Rasanya harus kuselesaikan segalanya secepat mungkin. Ia duduk terlebih dulu, meletakkan tasnya dan menelisikku dengan tatapan tanya.

    "Kamu pernah membangunkan aku subuh-subuh." Bahunya terkedik. "Ini bukan masalah."

    "Baru saja dia berniat bunuh diri," aku memelankan suara sekadar menghalau Rinai entah Karma mendengar percakapan kami. "Kalau begini, saya nggak tega meninggalkan dia."

    Mulai kuceritakan pokok persoalan ini. Sedetail-detailnya, seperti seorang narasumber memberi keterangan terkait tindakan kriminal yang dilakukan seseorang pada wartawan. Dengan saksama dan sabar, Gracia mendengar seluruh ceritaku, tanpa terkecuali. Kadang ia mengernyit, kadang menelengkan kepala, kadang membuka mulut melepaskan helaan nafas pendeknya terkejut. Usai bercerita, aku meminta pendapatnya. Ia mengangguk-angguk memahami permasalahan saat ini.

    "Tidak semudah itu aku menyimpulkan seseorang mengidap suatu penyakit kejiwaan. Tidak boleh dari penuturan orang saja. Harus melewati banyak proses untuk mendapatkan kesimpulannya."

    "Tapi saya sering berkomunikasi dengan alternya, Grace." Aku menambahkannya dengan cerita yang diantar Rinai beberapa hari lalu. Kisah mengerikan yang terjadi pada seorang anak atas tindakan pelecehan seksual. Seperti apa ibunya yang sinting itu. Dan lain-lain, yang dirasa cukup untuk memberikan simpulan.

    "Aku akan di sini. Karena ini sudah malam, kita lanjutkan besok saja. Biarkan dia istirahat dulu. Boleh aku masuk sekadar memeriksa keadaannya?"

    Aku persilakan dia memasuki kamar Rinai. Sementara membiarkan Gracia berada di sana, aku memutuskan tak tidur, memilih balkon apartemen sebagai tempat perenunganku barang sebentar. Kesibukan kota tidak sepadat siang hari. Nyaris, suasana senyap sepi bagai di kuburan. Jalan-jalan tikus tampak lengang dari atas sini. Hanya ada beberapa orang yang duduk mengitari papan catur sambil mengobrolkan sesuatu. Meski mataku berlabuh pada kesibukan pria-pria itu, pikiranku melalang-buana, mengembara meninggalkan ragaku seakan mengikuti gandengan angin malam yang berbisik mengadu.

    Tak kusangka, pada akhirnya aku mengalah. Di sofa panjang aku tertidur. Kegelapan bagai menelanku, tak tahu berapa lama, terus menggiringku memasuki fase ternyaman alam bawah sadar yang lantas mengantarkanku pada tujuan. Bunyi air berkecipakan, cericit burung, dan dedaunan yang bergemerisik berkomplotan menciptakan simfoni selaras. Begitu mataku terbuka, aku telah dihadapkan wajah jelita yang menyambutku dengan senyuman manis madu di bibirnya. Mata bidadarinya membawaku lekat padanya. Tangan beledunya berada di genggamanku. Baru aku sadar saat ini aku tengah tiduran di atas pangkuan Helenina Bregsma yang tak henti-hentinya mengamatiku.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now