Zesentwintig - De Laaste Vergadering (Pertemuan Terakhir)

25.7K 2.7K 219
                                    

   Mama mengetuk pintu kamarku sambil bertanya apa kiranya yang terjadi. Ia khawatir, aku pulang dengan mata sembab dan langsung menghambur menuju kamar. Semalaman ini aku menghabiskan air mataku. Aku pikir, esok pagi mataku berubah mengerikan seperti zombie. Tak mungkin aku ke kantor dengan mata bengkak memerah. Peduli setan, yang kuinginkan hanya menangis sampai aku puas. Sampai aku puas!!!

   "Ras, kamu kenapa toh, nduk? Sini, cerita sama Mama." Pintu terus diketuk dan tetap tak kuhiraukan.

   Beginikah sakitnya Amba ketika ditolak Resi Bhisma? Harusnya aku tidak terlalu memberikan hatiku sepenuhnya pada seseorang. Harusnya aku sisakan sedikit agar aku tak dibikin begini sakitnya. Tetapi aku sadar bahwa seseorang tak akan perhitungan dengan hatinya saat ia jatuh cinta. Ia akan memberikannya penuh, tak peduli seberapa nyeri ketika 'jatuh' lebih mendominasi daripada 'cinta'nya sendiri. Brengsek! Aku jadi cengeng begini. Rasanya aku tak sanggup kalau terus-menerus begini. Aku pernah jatuh cinta, tapi tak sejatuh ini, dan tak sesakit ini.

   Itu wajar. Yang namanya jatuh ya sakit. Apalagi kalau dia menikahi perempuan lain, sama seperti jatuh di atas paku, pasti lebih sakit, benakku menyinyir kejam.

   Dan aku habiskan malam ini dengan tersedu-sedan sampai aku tertidur karena kelelahan.

   *

   Sarapan yang tercium sangat nikmat tidak lantas membangunkan seleraku. Nyaris, aku tidak menjamah semua sarapan yang dihidangkan Mama. Ia perlu memaksaku menyendok satu kali saja daripada aku pingsan kelaparan di kantor nanti. Kugelengkan kepala malas, menolak suapan Mama. Aku meraih gelas panjang di dekat tanganku dan menelan isinya. Bahkan susu yang harusnya manis terasa hambar di lidahku—atau memang Mama tidak memberi gula?

   "Laras pergi, Ma."

   "Ndak boleh sebelum kamu makan sesuap aja!" Mama menghardik.

   "Nanti Laras diajak makan sama Esa kok." Mahesa mungkin akan mengajakku makan, namun aku tak akan menerima ajakannya. Rasanya perutku mual. Otakku bekerja secara responsif membawa nama lelaki brengsek itu, lengkap dengan bayangan wajahnya. Aku semakin mual dibuatnya.

   Jeep Mahesa bertengger di halaman rumah. Ia berbasa-basi dengan Pak Dirman, menanyakan kabar keluarganya di kampung atau berapa harga sepetak mawar saat ini. Tanpa menyapa, aku masuk ke dalam. Praktis, Mahesa langsung berpamitan pada Pak Dirman melihatku ngeloyor begitu saja. Mama muncul di ambang pintu berseru memanggil Mahesa.

   "Nak Esa, tolong ya Laras nanti dipaksa makan. Dia belum sarapan."

   Mahesa mengangguk sopan. "Iya, Tante. Biar saya suapi sekalian."

   "Makasih ya."

   Usai melambaikan tangan, Mahesa memosisikan diri di sebelahku. Ia pandangi aku sambil menampakkan kernyitan prihatin. Dilajukannya jeep ini meninggalkan rumahku. Pagi yang mendung, sesuai dengan perasaanku. Akan lebih hebat bila hujan turun. Andai saja ini bulan Juni, aku akan membaca Hujan di Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono seharian seraya mendengarkan Solveig's Song-nya Edvard Grieg dan meratap beruraian air mata di kamar.

   "Aku ngerti kok perasaan kamu," Mahesa mencoba menghiburku di tengah jalan.

   "Kamu nggak bakal ngerti karena kamu cowok."

   "Maksudnya, aku ngerti gimana sakitnya saat orang yang kita sayang akan dimenangkan orang lain. Dulu aku pernah begitu."

   Aku memalingkan muka menghadap keluar. Lalu-lalang manusia dengan kesibukannya sedikit mengalihkan pikiranku. Waktu Mahesa membuka mulut hendak melanjutkan, tanganku terangkat meminta ia berhenti. Bukan maksud tak sopan, aku tidak ingin ia terus-menerus membahas soal itu, yang malah menambah lubang lain di hatiku.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now