Negen - Deja Vu (Deja Vu)

24.6K 2.8K 216
                                    

Kerap aku mengajak orang lain makan bersama. Entah teman kerja, keluarga, atau perempuan yang tak sembarangan bisa memasuki rana privasiku. Namun kali ini, aku seakan tak merasakan kesepian, biarpun hanya ditemani seorang gadis asing. Tanpa pelayan yang berjejer di sekitarku menungguku selesai. Kuamati ia dalam diamku. Kuperhatikan caranya bergerak, berkedip, dan balik memandangku. Ini sering terjadi padaku. Aku melakukannya sekali lagi hanya untuk mencari tahu apa yang sebetulnya kualami. Aku tak boleh terlibat kontak dengan orang yang baru kukenal, itu prinsip hidupku. Sebab kau tak bisa memercayai siapapun. Meski mereka telah lama kau kenal. Orang terdekatmu bisa menjadi musuh dalam selimut. Pengkhianat berkedok teman akrab. Apalagi orang asing, siapa sangka mereka memiliki maksud tersembunyi?

"Kamu tahu dari mana nama panggilanku?" Larasita bertanya usai menyelesaikan sarapannya. Ia tampak rikuh di tempat duduknya. Seperti tak berpengalaman makan bersama seorang pria.

"Menebak."

"Menebak? Nggak mungkin. Cuma Papa yang manggil aku Lala."

Aku berdeham, meraih gelas terdekat dan meneguk air di dalamnya. Ditunggunya jawabanku yang kiranya dapat memuaskan rasa penasarannya. "Sebentar lagi saya pergi." Kutengok jam tanganku. Ia mendesah panjang. Tampaknya teguran tak tersiratku mudah ditangkap olehnya. Gadis ini memang peka terhadap segala hal di sekitarnya.

"Oke, oke. Aku pergi. Aku juga punya banyak urusan." Ia beranjak dari kursinya. Sebelum melangkah pergi, kupanggil ia sekali lagi, namun bukan dengan nama kecilnya.

"Laras."

"Ya?"

"Masih ingat permintaan saya?"

"Permintaan yang mana ya?"

"Soal mimpi itu."

Mendengar kalimatku itu, Larasita terlihat gelisah. Rambutnya diselipkan ke belakang telinga. "Masih kok. Kenapa?"

"Kenapa tidak Anda tulis? Saya masih menunggu."

"Oh, kamu menunggunya? Oke, aku kirim secara rutin ke email kamu. Nanti kirim alamatnya lewat pesan."

"Baiklah."

Kurasai kecanggungan dan keterkejutan dari langkahnya ketika ia melenggang meninggalkan ruang makan. Aku menengok jam tanganku. Memang sudah saatnya pergi, namun kali ini aku tak berselera pergi kemana pun. Seolah terdapat rantai kuat yang membelengguku untuk tetap tinggal. Belakangan ini kerap aku merasakan sesuatu macam begini. Kuatur jadwalku lagi untuk meluangkan waktu bersama Gracia, psikiaterku. Ini membikin aku kian gelisah. Mengapa aku seperti dihantui sesuatu?

Memasuki perpustakaan pribadi, langsung kubuka laci mejaku menemukan satu buku bersampul kulit yang telah berusia tua. Kertasnya berwarna coklat dimakan waktu. Begitu kubuka, bau debu dan udara yang lembab menyelesak di penciumanku. Tulisan ini dibuat di kisaran awal abad 20. Masih dengan ejaan lama. Buku ini kutemukan di bagian koleksi pribadi yang tidak boleh dijamah siapa-siapa, sekali pun mereka orang terdekat pemiliknya. Aku berhasil mendapatkannya setelah membayar banyak juru kunci galeri kakek buyutku. Lantaran membutuhkan uang untuk biaya berobat anaknya yang sakit keras, ia menerima dan memberiku akses masuk ke dalam ruang pribadi kakek buyutku.

Kejadian seperti di gedung pagelaran seni itu terulang kembali. Ketika tanganku bersentuhan dengan buku ini, aku seakan dibawa pikiran tak warasku menuju kenangan lain. Seolah-olah aku menyelami pikiran orang lain. Ruang petang bercahayakan lilin, suara orang-orang berbahasa Belanda, dan keberadaan seseorang yang begitu mirip denganku. Ia duduk menulis di antara keremangan. Buku yang tertangkap di penglihatanku ialah buku yang kini berada di genggamanku. Spontan, kujatuhkan buku tersebut dan koneksi seakan terputus.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now