Aan Mijn Liefste #1

17.6K 1.4K 264
                                    

Aan mijn liefste (untuk kekasihku),

Sepekan lalu kau kuantar ke tempat pembaringan terakhir. Sampai peti mati memisahkan mataku dengan paras jelitamu, kaki ini masih enggan beranjak. Nin, betapa gila aku seperginya kau menghadap Bapa di surga. Tak kulihat lagi wajah ayumu bagai rembang senja di antara gulita. Tak kulihat lagi senyum adun widodarimu. Tak kudengar suara merdumu memanggil namaku. Tak kurasakan jemari lembutmu bersentuhan dengan wajahku.

Agnus Dei menjadi lagu perpisahan kita. Lidah ini kelu saat menyanyikannya untukmu terakhir kali, Nin. Betapa hancur hati ini melihatmu tak lagi bersuara di pelukanku. Jemari dan bibirmu yang dingin tak lagi menjadi milikku. Berlutut seharlam pun tak akan mengembalikanmu padaku.

Kegilaanku seperginya kau dari sisiku makin menjadi-jadi. Saban hari kanvas-kanvas baru penuh dengan lukisan elokmu. Saban malam jurnal harianku penuh akan cerita nestapa tak berkesudahan. Jemariku makin rapuh tiap menulis namamu, ceritamu, dan merekam wajahmu dalam lembar-lembar kertas usang.

Saban hari kuburanmu diruntuhi kembang dan air mata. Tak hanya aku, ibumu dan semua orang yang mencintamu tenggelam dalam duka. Mana ada orang yang merelakan kepergianmu. Tak ada, Nin. Bahkan kumbang di kebun rumah Seni dan Sastra yang mendengar namamu dari mulut ke mulut pun turut hadir di puncak pusaramu, merapalkan doa yang berkelindan, tiada pernah putus.

Aku ingin merekam kenangan-kenangan kita sewaktu bersama. Walau ragamu telah terkubur di tanah merah, ruhmu masih berlarian di pikiranku. Mengingat wajahmu sekali lagi memutar kenangan yang sudah-sudah, seperti saat kulihat kau muncul di balik kusen pintu, sewaktu aku menorehkan cat minyak ke kanvas di rumah ini—rumah Seni dan Sastra.

Tawa gemerincingmu menyita konsentrasi, membikin aku menoleh ke belakang dan bertemu dengan wajah ayumu. Kau melompat dari persembunyian, dengan kedua tangan terlipat di belakang, melenggang anggun menghampiriku. Tanpa menghapus sedetik pun senyum di bibir merahmu.

"Wat ben je aan het doen (apa yang kau lakukan)?" tanyamu, lantas meremas kedua pundakku dari belakang.

"Menyelesaikan lukisan pesanan. Siapa yang mengantarmu kemari?" Aku melanjutkan kegiatan itu.

Pipimu menempel di pipiku, mengamati lukisan yang harus kuselesaikan cepat. Bisa kurasakan kehangatan menyublim cepat melalui kontak fisik itu.

"Aku datang naik sepeda. Tampaknya, waktumu banyak tersita. Kau harus menyisihkan waktu untuk dirimu sendiri."

Aku menjentikkan jari. "Ini salah satu cara menyisihkan waktu luang di luar jam sekolah, Sayang. Selain itu, kau."

Senyum terbentuk di bibirmu. "Aku temani kau di sini."

"Kau bikin aku susah konsentrasi, Nin."

"Waarom (kenapa)?" Matamu yang bulat mengedip berkali-kali.

"Mana bisa aku konsentrasi melukis ini kalau objek terindahku duduk manis di sebelah?" Aku menggeleng-geleng, sedangkan kau terkekeh dan memeluk leherku.

"Kalau begitu, tutup saja matamu seperti Banu."

"Tak mungkin."

Kau menghela napas panjang. "Ya sudah. Aku pergi dulu agar tak mengganggumu." Kau melepas pelukan dan memutar badan, membuat gaunmu tersibak dan bergoyang.

Sebelum melangkah makin jauh, tanganmu kutarik, membuatmu terpekik. Aku menyentakmu untuk duduk di pangkuanku.

"Kau curang," kataku, lantas mengecup hidungnya berkali-kali sampai membikin kau tertawa geli.

Aku berhenti menulis sekadar membiarkan ingatan itu mengintip lagi. Ah, Nina. Makin kau buat aku rindu.

Ini pekan pertama tanpamu. Ingat pertama kali mata kita bersipaku? Hari pertama aku melihatmu di dalam kereta kuda saat menatapku telah kutasbihkan sebagai hari keramat. Duh Gusti, ingin aku bertemu dengan widodari itu lagi, begitu yang kugumamkan berkali-kali. Sampai kita bersua lagi dan mengenal satu sama lain. Gusti Pengeran tampaknya mengabulkan doaku untuk dipertemukan denganmu melalui tali takdir. Namun, tali takdir yang seharusnya berkelindan putus begitu saja. Apa sebab? Mungkin, Gusti Pengeran mempertemukan kita bukan untuk disatukan. Lantas, mengapa Dia menanamkan cinta dan membiarkannya tumbuh mekar di sanubariku?

Ini kesekian kali kutulis tentang kau di jurnal harian. Jemariku masih rapuh memegang pena. Jantungku berdegup pilu. Nyeri karena luka menganga yang tak kunjung membaik. Luka ini, Nin, akan kubawa sampai kapan pun. Sampai aku mati dan bertemu denganmu lagi di swargaloka.

Namun, akankah surgaku dan surgamu sama? Bagaimana bila kita tak dipertemukan di surga yang sama, Nin? Haruskah terpisah lagi?

Liefs (dengan cinta),

Ario

*****

Cerita ini akan banyak diisi kebersamaan Ario & Nina dan adegan (atau penjelasan) yang nggak ada di novel/works sebelumnya <3

BTW bolak-balik saya ditanya ini dari kisah nyata atau bukan. Saya tekankan ya kalau cerita ini murni imajinasi. Namun ajaibnya, suatu hari ada yang tetiba mengkontak saya, bertanya panjang lebar seputar cerita ini. Dia tanya saya dapat referensi dari mana? Bahan bukunya apa saja?

DAN!

Dia bilang, ceritanya punya kemiripan dengan silsilah keluarganya waktu zaman penjajahan Belanda. Dia mengira saya mengutak-atik buku-buku peninggalan keluarganya dulu dan kaget kok bisa diakses orang umum.

Sampai sekarang saya masih speechless. Jadi buat yang tanya cerita ini nyata atau nggak, kok kayak nyata banget, terserah kalian menilainya bagaimana xD

PS: bukunya masih belum terbit. ngantre cyin

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now