Tien - Muziekdoos (Kotak Musik)

24.8K 2.9K 339
                                    

Terima kasih atas kesediaannya membaca cerita ini sampai di bab sepuluh. Di bab ini, silakan dengarkan Love Me Like You Do-nya Ellie Goulding untuk bagian akhir hehehe. Dan musik yang saya cantumkan di bab ini (terdapat pada media) adalah bunyi kotak musik di bab ini. Selamat membaca.

------------------------

Dan darahku seperti berhenti mengalir dari jantungku yang sempat terhenti.

Mengapa ia memelukku seperti ini, seperti seseorang yang tak ingin kasihnya pergi? Batinku pernah berkata bahwa aku tak boleh mengharapnya lebih. Bukankah ia telah memiliki pendamping hidup, yang sudah pasti ia cintai dan mencintainya dengan sangat? Waktu seketika bagai dibekukan. Sebetulnya aku tak boleh berlaku seperti ini. Coba posisikan dirimu di tempat tunangannya. Hanya wanita bodoh yang hatinya tak akan bergetar dan jantungnya berdenyut nyeri jika melihat orang yang dicintanya memeluk orang lain. Maka, aku berdeham kecil sekadar berusaha menarik alam bawah sadarnya. Ia seperti disentak sesuatu hingga pelukannya dilepas seperti kedipan. Pandangan matanya tidak berani ia labuhkan padaku.

"Maaf," hanya kata itu yang ia gumamkan. Biarpun—sepertinya—ia memelukku lantaran bukan atas kemauannya, tetap saja hatiku mendadak menyusut. Kecanggungan seperti sekat yang memisahkan kami, meski secara teknis kami tak banyak berjarak. Tampaknya ia begitu merindukan tunangannya. Barangkali ia bermimpi bertemu dengan tunangannya?

Mengapa aku harus peduli pada urusan orang lain?

"Aku balik dulu ya," kataku. Mengaitkan rambut ke belakang telinga menjadi salah satu gestur yang kutampilkan tiap aku gugup. Ia tak membalasku. Jangankan menggunakan kata-kata, melirikku saja tidak. Matanya lurus pada dinding di depannya, enggan beranjak sekadar melihatku.

Tanpa selipan kata pamit, aku melimbai meninggalkannya di belakang sana. Langkah kaki ini seirama dengan detak jantungku. Tanganku sudah berkeringat dingin, sedang pikiranku tak sanggup berpijak pada realita. Suhu tubuhku mendadak panas dan dalam sekejap berubah dingin, lalu panas. Begitu sampai aku keluar dari ruang santai. Kendati tubuh ini sudah tak berada di satu ruangan dengannya, aku rasai tatapannya menusuk punggungku. Tadinya aku ingin memutar kepala hendak melihatnya, namun batinku berbisik jika aku melakukan hal itu, ia akan tahu aku tak rela meninggalkan rumah ini.

Sesampainya di kamar, dengan pintu terbanting di belakang punggungku, aku tekan dadaku. Debar jantung itu kian menjadi-jadi. Kuhela nafas panjang-pendek. Melompat ke atas ranjang dan mengubur wajahku di antara bantal dan guling, baru suara teriakanku terlepas dari bibir setelah beberapa waktu lalu terbungkam dalam rahasia. Nah, begini aku merasa lega. Pembaca, coba kau bayangkan hal ini terjadi padamu. Orang yang kau sukai setengah mati tiba-tiba memelukmu, seakan panah Cupid berhasil menyentuh jantungnya. Bukankah kau akan bersikap sama sepertiku? Akal sehat tak akan hadir padamu. Kau akan dianggap sinting jika melakukan tugasmu dua puluh empat jam dengan senyum melintang di bibirmu.

"Udara..." aku menggumam di antara bantal dan guling. "Gue butuh udara... Mana udara woy!" Aku menghentak kepalaku, duduk dengan nafas terengah-engah dan rambut mencuat sana-sini. Kuberantakkan poni yang kusisir miring.

Tanpa pikir panjang, aku raih ponselku yang tergeletak tak jauh dari tangan. Ponsel itu menjadi korban kebahagiaanku. Tadinya tanpa rasa ampun aku lempar bersamaan dengan badanku, sekarang aku ciumi. Jemariku menari lincah menekan nomor Elsa. Dering ke empat panggilan baru ia terima. Suaranya terdengar serampangan di seberang sana. Tampaknya ia sibuk dengan pekerjaannya di kantor.

"Sa, eh gimana kantor?" tanyaku basa-basi.

"Hm... bagus ya. Ngilang berapa lama lo hah, tiba-tiba telepon gue?"

HELENINA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang