Twee - De Eerste Vergadering (Pertemuan Pertama)

38.5K 2.9K 148
                                    

Padahal aku sudah terburu-buru masuk kantor karena ada meeting. Beberapa menit lalu meeting dibatalkan dengan alasan yang tak semudah itu kuterima. Bosku mendadak memiliki kepentingan lain dan meminta jadwal ulang untuk pengganti hari ini. Keluar dari kantor majalah tempat aku bekerja sebagai salah satu jurnalis, ponselku berdering di dalam kantong blazer. Berhenti di depan mobil yang kuparkir, aku mengangkat panggilan tersebut. Suara Mama terdengar di seberang sana.

"Ya, Ma?" Sambil berbicara dengan Mama, kubuka pintu mobil dan segera masuk ke dalam. Kiranya, mungkin mobil ini akan kulajukan berbelok ke restoran atau kafe sekadar mengerjakan tugas yang menumpuk di laptopku, sambil mengisi perutku yang keroncongan.

"Tantemu datang, Ras. Coba kamu pulang sebentar. Kayaknya tante kangen sama kamu. Jauh-jauh dari Amsterdam cuma buat ketemu kamu loh."

Begitu mobil kulajukan keluar, aku berteriak kegirangan. Bagaimana tidak? Tante Victoria lama tak mengunjungiku kemari. Setelah perceraian Mama dengan Papa yang membuat Papa kembali ke negaranya dan menikah lagi lima tahun lalu, jarang ada kontak di antara keluarga Papa dengan keluarga kami. Terutama Tante Victoria, adik Papa yang fasih berbahasa Indonesia. Ia pernah tinggal dan kuliah di Jakarta, itulah sebabnya ia memahami bahasa Indonesia sebaik berbahasa Belanda.

Baru aku hendak menjawab akan segera pulang, panggilan lain memberondong masuk. Kutahan pembicaraanku dengan Mama, lalu menjawab telepon masuk lainnya. Rupanya dari kawan redaksiku. Ia memintaku segera datang ke salah satu kafe tempat kami biasa mengobrol karena ada suatu hal yang ingin dibahasnya bersamaku.

Maka, aku memilih mampir sebentar ke kafe sebelum pulang ke rumah dan menyapa Tante Victoria. Mobil melaju dalam kecepatan sedang melewati beberapa pengendara motor.

Kawan redaksiku, Elsa, sudah menunggu di teras berhadapan dengan jalan raya ditemani secangkir cappuccino yang asapnya masih mengepul di udara. Kuhampiri ia dengan segera, memosisikan diri di depan dan mengeluarkan lembar kerja. Kami hendak mengerjakan proyek baru perihal penerbitan majalah yang rutin dilakukan seminggu sekali. Pembicaraan pekerjaan terjadi di antara hiruk-pikuk pengunjung kafe.

Meski obrolan pekerjaan menyelimuti kami berdua yang duduk saling berhadapan, pikiranku tiba-tiba melalangbuana teringat pada mimpiku semalam. Tatapanku kosong. Fokus yang telah kubangun serentak tercecer, berlarian menjauhi meja kami, sembunyi tak tahu rimbanya.

"Woy!"

Barulah aku mengedip kaget saat kudengar suara jentikan jari Elsa. Ia lalu melambaika tangan, seperti hendak membangunkanku dari dunia imajinasiku sendiri. Ditatapnya aku mengernyit, menilai melalui dua matanya.

"Eh, lo pernah nggak mimpi sesuatu yang lo rasa kayak beneran?" tanyaku, melenceng dari topik pembicaraan kami.

"Ya sering lah. Dicium Robert Pattinson, diajak kencan Andrew Garfield, diajak nonton Theo James. Wih, kayak beneran!"

"Ye... emang lo aja yang suka ngayal." Kuputar mataku. "Gue serius, Sa. Semalam, gue mimpi aneh, kayak nyata banget. Gue kayak nyelem ke dalam sejarah di awal-awal abad-20, jadi Noni gitu deh. Nyokap gue Jawa asli, bokap gue Belanda yang punya pabrik di banyak kota—"

"Ya elah, Ras." Suara tepukan telapak tangan Elsa pada lapisan aluminium meja membuatku berkedip cepat. "Bapak lo kan emang Belanda, mak lo juga orang Surabaya. Ya wajar lah. Itu mah mimpi biasa."

"Nggak, Sa. Ini beda. Gue sadar gue lagi bermimpi, tapi sadar juga kalo gue itu orang lain di sana. Gue seperti punya kehidupan lain selain jadi diri gue sendiri. Di dalam mimpi itu, gue jadi Helenina Bregsma. Gue sadar itu mimpi, tapi di sisi lain juga sadar kalo waktu itu gue jalanin peran sebagai orang lain."

HELENINA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang