Elf - Vierentwintig Uur (Duapuluh Empat Jam)

33.5K 3.1K 263
                                    

"Jadi... deja vu itu kembali lagi?" Gracia bertanya dengan intonasi rendah. Ia letakkan cangkir miliknya untuk menelisikku lebih dalam dengan kedua matanya. Wanita ini seorang psikiater dan pernah pula berkecimpung di dunia psikologi. Kutahu dan kuyakin, ia memahami apa yang tengah terjadi padaku.

"As I said."

Pandangannya beralih menuju langit-langit rumahnya. Tungkainya ia silang. Barangkali ia menyibukkan pikirannya dengan segala asumsi dan persepsi yang belum pernah ada dalam kasus kliennya. Pun, aku sendiri tak mampu menerawang diriku sendiri. Biarpun pernah memelajari ilmu psikologi, aku tak dapat mengkategorikan gangguan ini ke dalam jenis-jenis gangguan psikologis.

"Akan kucari tahu penyebabnya," katanya setelah sekian lama terdiam. Kami tak lagi berbicara. Ia disibukkan dengan perkaraku, sedang aku sendiri sibuk dengan pikiran lain. Setiap masalah yang kuhadapi kerap menemukan solusinya tanpa menunggu banyak waktu. Satu per satu masalah yang kuhadapi berhasil terselesaikan. Termasuk sehari yang lalu ketika aku memberhentikan—kurasa kata ini lebih sopan—seseorang yang bekerja denganku lantaran ide-ide yang diberikannya padaku begitu membosankan.

Aku mencintai ide yang segar dan tidak pasaran dalam setiap hal. Dan ia tahu bagaimana diriku. Setelah lama bekerja bersama ayahku, lalu padaku, tak ada perkembangan memuaskan darinya. Ide-ide yang ditawarkannya kutolak mentah-mentah. Ayahandaku memberi dua dari sekian banyak perusahaan miliknya. Dalam hal ini, aku memegang satu perusahaan di bidang properti dan satu lagi di bidang penerbitan buku-buku bermutu yang beliau rintis sejak dari nol. Salah satu perusahaan penerbitan buku terbaik di negeri ini yang jarang kutengok. Ya... walaupun tak sebaik Balai Pustaka yang pernah berjaya.

"Anda pikir, memecat saya adalah pilihan yang tepat? Saya telah lama mengabdi pada ayah Anda di tempat ini. Dan tidak pernah satu kalipun beliau bertindak seperti ini pada saya. Anda salah menilai saya. Lihat saja, lihat apa yang akan saya lakukan pada Anda. Mendepak saya dari sini adalah kesalahan terbesar. Suatu saat Anda akan membayar semua ini."

Kalimat yang sering kudengar dari semua orang yang pernah bekerja denganku, namun orang terakhir yang kudepak dari kantor mengatakannya dengan nada sarat mengancam. Bukan maksud aku seenaknya sendiri memberhentikan mereka, namun kerja mereka tidak memuaskan. Kini aku perlu memikirkan siapa kiranya orang yang pantas naik jabatan memegang kursi Kepala Editor. Atau barangkali aku mencari orang lagi? Mencari orang untuk menempati kursi Kepala Editor tidaklah mudah. Perlu perhitungan panjang. Harus orang yang betul-betul kukenal baik.

Sudut pikiranku justru menyenggol nama Laras.

"Aku perhatikan, kamu sedang gelisah. Kenapa?" Gracia merobohkan dinding lamunanku. Aku pandang ia sambil mengerjap. Badannya dicondongkan ke depan. Sebentuk senyum muncul di bibirnya. Helaan nafas yang tadinya tertahan kulepas di udara. Ia tertawa kecil menyadari keganjilan perilakuku belakangan ini.

"Saya tidak gelisah."

"Wanita lebih jago berbohong daripada pria, perlu kamu tahu itu." Gracia meraih cangkirnya lagi. "Sejak tadi aku perhatikan, kamu tidak berhenti melirik layar ponselmu. Menunggu panggilan atau sms dari seseorang?" Sebelah alisnya ditarik ke atas mencemooh.

"Bukan."

"Sudah berapa lama kamu mengenalku sampai tidak sadar kalau aku bisa mendeteksi kebohongan hanya dari nada bicara dan gestur tubuh?"

Aku kian gelisah. Tidak seharusnya aku berbohong di depannya. Bukan sekali atau dua kali ia memergokiku berbohong. Sekiranya memang aku yang bodoh dengan arogannya menantang kemampuannya dalam mendeteksi kebohongan seseorang. Kualihkan kontak mata darinya dan menggerakkan jemariku di atas lengan sofa. Melihat gelagatku, Gracia terkekeh sekali lagi. Ia beranjak berdiri, berpamitan padaku entah untuk apa, lantas melenggang meninggalkanku di ruang tamu ini.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now