Vijf - Golf (Gelombang)

28K 2.8K 222
                                    

Wah!

Aku diusir olehnya? Rupanya ia menganggapku gila. Orang mana yang tak mnganggapku gila bila aku mengatakan kalimat ngelantur seperti tadi? Meski logika sedang rusak dan lebur di dalam kepalaku akibat terjangan kejanggalan ini, aku harus bisa tenang. Maka dengan sekali helaan nafas panjang, aku memandang ke arahnya. Tatapannya padaku masih tiada berubah. Tatapan datar dan tersinggung. Barangkali ucapanku yang tak sopan tadi membuatnya berubah pikiran dalam menilaiku.

"Maaf, Tuan," kataku rendah. "Rasanya... saya memang butuh ke psikiater. Rujukan yang bagus." Tanpa mengurangi rasa hormatku, senyum ramah terulas dari bibirku, membentuk lengkung bulan sabit dan aku beranjak dari tempat dudukku begitu kumasukkan kotak perekam ke dalam tasku. Kuanggukkan kepala, lantas melenggang melintasi meja makan, meninggalkan Raka dalam kegemingan dan keheningan. Kurasai sudut matanya mengekoriku sampai merajam punggungku. Yakin, ia pun sebetulnya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa kami dipertemukan dalam keadaan aneh seperti ini?

Aku yang memimpikan kehidupan Helenina dengan seorang pria yang mirip dengannya—yang kuasumsikan sebagai kakek buyutnya dan memberiku penegasan bahwa Bendara Raden Mas Arianta memang nyata. Dan Raka yang memiliki wajah mirip dengan Ario, melukis Helenina dari lukisan milik kakek buyutnya, dipertemukan denganku secara tak sengaja—atau aku menyebutnya sengaja, oleh tangan Tuhan—di pameran seni. Tepat di Surabaya, kota kelahiran Helenina.

Akan kucaritahu sendiri misteri dunia paralel ini sampai puas mendapatkan kejelasannya. Mana mungkin ada asap jika tiada api, bukan?

*

"Yaiyalah, Ras! Gila lo ya?? Yang ada tuh cowok nganggep lo sinting!"

Sudah kutebak, begitulah balasan Elsa terhadap ceritaku tentang makan malam ini. Aku duduk di depan cermin rias untuk menghapus sisa-sisa make upku sambil menelepon melalui earphone. Cerita itu, tanpa sedikit pun kuubah, kukurangi, maupun kutambah-tambahi. Aku bahkan hapal dengan kalimat yang dilontarkan Ario dan menjengitkan batinku.

"Lo tahu takdir, kan? Ini takdir. Pertemuan gue dengannya itu takdir."

"Kebanyakan baca novel tuh. Otak lo jadi konslet." Kikikan tawa menyeloroh menyeruak di seberang sana. Kuputar mata ke atas, berhadapan dengan langit-langit kamar hotel ini yang konon, pernah menjadi saksi sejarah penyobekan bendera Belanda.

"Gue udah googling nama Helenina Bregsma di internet, tapi nggak nemu. Gue tanya tante gue apa gue punya darah keturunan keluarga Bregsma, dia bilang nggak ada."

"Yaiyalah geblek. Helenina kan cuma khayalan lo."

"Terus, kenapa lukisan Helenina ada di Balai Pemuda? Malah nih ya, yang ngelukis Helenina pertama itu Ario loh. Lukisannya mirip betul sama yang ada di mimpi gue."

Elsa menguap memperjelas padaku bahwa kantuk hendak memisahkan kami untuk menyudahi obrolan ngelantur ini."Ya udah deh, lo tidur sana. Kali aja mimpi lo malam ini bisa jadi pencerahan buat lo."

Mimpi tanpa kejelasan arti, apa guna? Aku mendengus putus asa. "Oke. Bye." Sambungan terputus, namun perasaan ini mengganggu ketenanganku. Melepas earphone dari kedua telinga, aku berjalan lunglai menuju ranjang. Aku lempar ponsel pipih itu di sebelah bantal dan melompat merebahkan tubuhku. Kupandang sekali lagi langit-langit kamar hotel ini. Berguling ke kanan, kiri, memeluk guling, dan kembali telentang.

"Siapa kamu sebenarnya, Helenina?"

*****

Piano ini tak pernah tersentuh oleh jemariku. Baru kutemukan di gudang dan langsung meminta Subarja memindahkannya ke ruang tengah. Mama sering memainkan piano itu tiap-tiap merindukanku. Lagu yang dimainkannya ialah pengantar tidurku. Kadang pula ia memainkan lagu-lagu komposer Eropa ternama. Namun Papa yang tak senang pada lantunan piano memindahkan benda itu ke gudang dan menguncinya. Setelah sekian lama terkurung di dalam gudang, pada akhirnya piano buatan Eropa yang didatangkan dari Nederland itu sampai di tanganku. Kunci gudang yang mulanya dipegang tangan kanan Papa, Parjo, telah berhasil kurebut. Ia tak mengindahkan perintahku, namun saat aku merajuk dengan mengirim sepucuk surat ke Buitenzorg, Papa membalasnya dengan titah untuk tangan kanannya agar membukakan pintu gudang dan memindahkan piano ke ruang tengah.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now