Acht- Grijs (Kelabu)

24.3K 2.8K 190
                                    

Pembaca, sekiranya hari ini aku akan tamat di tangan Raka, tolong simpan baik cerita ini. Tampak dari matanya yang menyorot tajam padaku, keinginan tak tersiratnya untuk membunuhku. Siapa sangka sepulangku dari rumah seni dan budaya ini, ia merencanakan pembunuhan dan melakukannya dengan hati-hati.

Membaca cerita misteri kadang membikin aku makin sinting macam begini.

"Hai," sapaku. "Untuk apa... kamu ke sini?"

"Seharusnya saya yang bertanya seperti itu, Nona Larasita Nareswari Gevaarlijk."

Kilat seakan menampar pipi dan menohok jantungku kala ia sebutkan dengan lancar tanpa kesalahan pengucapan, nama lengkapku. Bagaimana ia tahu nama terakhirku? Kini aku gelisah. Gugerakkan kakiku, berjinjit dan turun perlahan, kulakukan berulang kali sambil menggesekkan kets pada kakiku yang lain. Telapak tanganku yang berkeringat mengelap tengkukku yang dingin. Sial, mengapa aku dibikin begini sengsaranya?

"Ini adalah galeri pribadi keluarga saya. Peninggalan turun temurun sejak abad 19 dan diisi dengan mahakarya kakek buyut saya. Mengapa Anda kemari tanpa permisi?"

"Sebetulnya saya sudah mengajukan ijin pada juru kunci." Thank God. Mahesa sepertinya iba melihat kesulitanku. Dibelanya aku dengan nada tenang dan senyum sopan. Untuk ke sekian kalinya aku mengusap tengkuk dan menggaruk kakiku menggunakan kets. "Larasita memiliki ijin liputan dari bosnya. Dia dari—"

"Majalah Galeri Budaya. Saya sudah tahu." Pandangan mata Raka bahkan tiada beralih dariku. Aku seperti ditelanjangi ramai-ramai melalui matanya. Sial, mengapa jantungku kian berdebar ditatap selekat ini. Padahal tatapan itu bisa dibilang memiliki arti buruk. Seperti sumpah serapah atau janji untuk membunuhku. Aku menelan ludah dengan susah payah menyusuri kerongkonganku yang kering kerontang. "Saya beri waktu tidak kurang dari lima belas menit. Setelah itu silakan keluar dari tempat ini. Kakek buyut saya tidak suka ada orang yang masuk sembarangan kemari."

"Kalau dia masih hidup dan bertemu dengan saya," aku maju satu langkah, mengubur dalam-dalam ketakutanku berhadapan dengannya, "sepertinya dia akan mempersilakan saya masuk kapan pun yang saya mau."

"Mengapa Anda bisa seyakin itu?" ia tersenyum miring. Keparat. Sungguh keparat. Aku suka senyumnya.

"Karena—"

"Anda mirip perempuan yang dilukis kakek buyut saya?" ia menggosok hidungnya. "Kalau boleh mengatakan, perempuan di dalam lukisan itu beribu kali lipat lebih cantik daripada Anda. Dia memiliki karakter dan aura kuat yang bisa saya rasakan, meski terperangkap di dalam bingkai dan berbentuk visual. Jangan terlalu narsistik, Nona Nareswari. Kakek buyut saya, jika beliau masih hidup, tak akan tertarik dengan gadis tukang imajinasi seperti Anda."

Beraninya ia bicara seperti itu... Biarpun aku selalu gagal memenangkan kontes kecantikan di sekolahku, gagal menjadi model, dan tidak diterima agen manapun untuk menjadikanku aktris, aku tak sejelek itu! Beraninya ia mengataiku demikian!

"Berani-beraninya kamu bilang kayak gitu." Aku berkacak pinggang. Peduli setan soal kesopanan. "Emang ya, dasar cowok. Yang dipentingkan itu penampilan. Dimana-mana kecantikan, dimana-mana tubuh seksi. Sekali-kali jangan nilai cewek dari penampilan!"

"Mengapa Anda jadi sentimen?" Sebelah alis Raka terangkat.

"Eh... maaf, boleh saya membawa Laras pergi?" Mahesa menggandeng tanganku, menyeretku menjauhi keributan setelah mengucapkan maaf dan berpamitan. Tak kudengar permintaan maaf Raka di belakang sana selain Pak Jain yang mewakilinya.

Sesampainya di depan gedung galeri, aku menarik tanganku dari gandengan Mahesa. Kukerucutkan bibir ke depan. Tangan kulipat di depan dada. Mahesa membiarkan emosiku menyurut sampai kepalaku dingin dan enak diajak berbicara santai. Metodenya mendiamiku sampai beberapa waktu berhasil. Tak semarah tadi, aku menghela nafas panjang berulang kali. Kusingkirkan poni yang menutupi sebelah alisku. Aku kaitkan ke belakang telinga tanpa kubiarkan sehelaipun turun.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now