Vierentwintig - Besluit (Keputusan)

31.1K 2.7K 185
                                    

    Bulan berlalu lebih cepat dari yang kukira. Tinggal tiga puluh hari lebih sekian pergantian tahun tiba. Dulu saat orangtuaku masih bersama, Papa akan memboyong kami ke Belanda untuk liburan tahun baru. Entah untuk tahun baru nanti? Aloha 2016! Yakinlah, tahun baru nanti akan lebih menarik karena apa yang kuinginkan hampir semuanya tercapai!

    Papa dan Mama tak bisa tinggal lama di sini. Bukan, bukan keduanya, melainkan Papa yang harus segera kembali ke negaranya. Mama barangkali menemeniku dan peduli setan dengan bosnya yang semena-mena. Bahkan secara terang-terangan—di depan Papa juga—Mama bilang ia tak lagi berhubungan dengan bosnya, memilih mencari pekerjaan lain saja.

    "Je kunt werken in mijn plaats (kamu bisa bekerja di tempatku)," kata Papa sewaktu kami sampai di rumah dan duduk di ruang tamu.

    "Ne, tidak." Menolak tawaran Papa, Mama menggeleng. "Aku tentu tidak bisa meninggalkan Laras di sini."

    "Arimbi, perusahaanku tidak hanya di Nederlands. Kan aku punya satu anak perusahaan di Indonesia juga."

    "Itu hasil kamu, bukan kita berdua."

   "Tapi kamu yang membantuku memulainya."

    Nah kalau sudah berdebat seperti ini aku tak suka. Tidakkah mereka menyadari eksistensi putrinya dan satu tamu yang memerhatikan dalam diam di pojok sana? Aku menoleh ke arah Raka, mengangkat bahu meminta ia mencari jalan keluar atau sedikit saja celah untuk menghindari perdebatan yang semakin keruh itu.

    "Tante Arimbi bisa bekerja di tempat Papa saya. Papa saya membutuhkan sekretaris di kantornya."

    Mama yang menyadari keberadaan Raka spontan menoleh dan berhenti berceloteh membantah Papa yang ngotot bahwa penghasilan yang ia dapat hasil kerja keras mereka. Kurasa aku tahu dari mana watak batu dan gengsiku berasal.

    "Nggak usah repot-repot, Nak."

    "Saya tidak merasa kerepotan. Papa saya membutuhkan satu sekretaris, bukankah seharusnya saya senang sudah menemukannya di sini?"

    Kalimat itu sukses membungkam mulut Mama. Hanya helaan nafas panjang balasannya, sepertinya lebih memilih tawaran Raka daripada Papa yang ngotot meminta ia bekerja di perusahaannya—bahkan tak tanggung-tanggung memberinya posisi bagus sebagai general manager. Selain gengsi, Mama tak ingin mendapatkan sesuatu secara instan. Ia terbiasa bekerja keras demi mendapatkan hasil yang setimpal. Sikap itu juga yang diajarkannya padaku. Baik Mama dan Papa, keduanya memang pekerja keras.

    "Ya baiklah..."

    "Kamu lebih memilih tawaran anak orang daripada aku?" Papa tampak tak mau kalah dari Raka. Aku menepuk dahiku, bersiap mendengr perdebatan lainnya.

    "Memangnya kamu siapa?"

    "Anak itu juga siapa? Dia lebih asing daripada aku."

    "Dia teman sekaligus orang yang menolong Larasita. Lagipula dia kan teman kerja kamu juga!"

    "Maar ik ben je man (tapi aku suami kamu)!"

    "Mijn man (suamiku)?!"

    Ya ampun! "Mama, Papa, stop! Kalian nggak malu apa berantem di depan anak orang?" Mataku memelotot kepada mereka yang saling membelakangi dan membuang muka. "Kepala Laras jadi pusing nih. Laras mau istirahat aja di kamar."

    "Biar Mama anterin, ya."

    Aku menggeleng cepat. Tujuanku hanya memberikan kesempatan bagi kedua orangtuaku untuk bicara berdua. Harusnya mereka bisa lebih komunikatif dan mulai memperbaiki masalah di antara mereka tanpa keterlibatanku. Sungguh, pembaca, aku yakin masih ada cinta di hati mereka yang diselimuti keegoisan.

HELENINA (SELESAI)Where stories live. Discover now