talk me down : 18

753 139 18
                                    

Bulan purnama bertengger indah di atas gelapnya langit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan purnama bertengger indah di atas gelapnya langit. Beserta selaksa gemintang yang beratap dirgantara. Cahayanya membawa cerita tersendiri bagi beberapa manusia. Begitu pula dengan Jeaden pada pendopo bagian depan halaman rumah eyangnya, duduk diam termangu di sana. Menyesap secangkir rindu dan sisa tawa orang-orang terkasih yang masih menggaungi rungunya.

Di tengah jiwa yang menggigil sebab renjana menyergap. Teruntuk angin malam, dia hanya bisa membisikkan untaian kata. Tentang luka, dan segala rindu yang menyiksa. Hanya mampu berkisah tanpa berjumpa. Tentang tawa yang perlahan memudar. Rindu yang paling nyata adalah ketika merindu namun tak ada celah untuk bertemu. Diterawangnya rembulan yang berpendar seolah ingin menghibur kesedihannya, lantas senyum tipis terbit pada sudut bibirnya.

"Bulan itu contoh sederhana kenapa yang indah selalu membutuhkan waktu dan proses. Dia harus berhadapan dengan sisi tergelapnya sebelum akhirnya bisa bersinar sempurna menjadi purnama."

Jeaden menoleh pada sumber suara, dilihatnya Mahesa mendudukkan diri di sampingnya. Dia pikir semua orang yang menghadiri acara pengajian itu telah pulang seluruhnya. Dalam rangka memperingati 1000 hari kematian mendiang Dimas Anggara Al-Hakim, malam itu sang eyang mengadakan pengajian khusus dihadiri anggota satu trah keluarga di kediamannya. Juga dalam rangka untuk mempererat tali silaturahmi di antara mereka.

"Mas Mahesa belum pulang?" tanya Jeaden ramah.

"Bokap gue masih ngobrol sama Eyang Iman," Mahesa menjawab seraya menoleh ke belakang, lebih tepatnya menunjuk menggunakan dagunya pada dua orang pria berbeda usia yang duduk di teras.

Jeaden menoleh ke arah yang ditunjuk Mahesa. Melihat eyangnya tengah berbincang dengan seorang pria yang menurut perkiraannya usia pria tersebut setara dengan mendiang ayahnya, lalu dia ber-oh pelan. Jarang sekali kumpul trah keluarga seperti ini dilaksanakan karena kesibukan masing-masing, jadi Jeaden masih merasa asing dengan beberapa kerabatnya yang terbilang banyak itu.

Kecuali Mahesa karena mereka sempat satu SMA, walaupun mereka tidak akrab semasa sekolah dan Jeaden tidak tahu sebelumnya bahwa sepupunya itu kakak tingkatnya di kampus. Tapi entah mengapa beberapa tahun terakhir sepupunya itu tiba-tiba sering mengunjunginya di rumah sang eyang. Oleh karena itu pula dia jadi lebih mengenal Mahesa. Mengabaikan pemikiran randomnya, dwinetra Jeaden kembali menatap ke arah langit.

"Sebelum berangkat ke Solo tadi, gue sempetin buat ziarah ke makam."

Jeaden menurunkan pandangan dan menatap kosong lurus ke depan. Dia paham kemana arah pembicaraan sepupunya itu, "Ga ada yang berubah kan? Dia udah kekal, Mas."

"Dia udah damai dalam tidurnya, Je."

"Gue tau."

Dari ekor matanya, Jeaden mendapati Mahesa tersenyum getir, lalu mereka saling terdiam. Hanya suara jangkrik dan hewan malam lainnya yang terdengar seperti mengejek Jeaden. Tentang dia yang masih setia bersimpuh dalam ruang penantian. Menanti pertemuannya dengan Rendi kembali, entah di dunia lain atau di kehidupan selanjutnyaㅡ jika tidak mustahil. Padahal Mahesa seringkali menyuruhnya keluar dari sana. Tapi hatinya selalu berkata; aku masih mencintai dia.

BLUE NEIGHBOURHOOD [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang