11

12 1 0
                                    

Tiap hari dibingungkan oleh realita
Mau mengeluh, tapi malu
Apa harus hidup didampingi palsu?

----------------------------------------------------------------------------------

Hidup memang begitu bukan? di depan orang lain kita selalu berpura-pura bahwa kita baik-baik saja. Tapi tidak saat sendiri. Ingin mengeluh tiada henti tapi orang lain juga akan risih. Lalu pada siapa harus mengutarakan ini semua jika bukan pada diri sendiri dan Tuhan. Terkadang orang lain menyuruh untuk tidak selalu mengeluh, katanya jalani aja dengan santai, tapi kita juga manusia yang punya sisi lelah. Tak sepenuhnya kita terus mengeluh tanpa melakukan sesuatu, pada kenyataannya kita selalu menghadapi realita yang ada. 

klik!

"Yash selesai juga" dia merentangkan tangannya untuk merenggangkan otot-otot yang terasa kaku, lalu ia membereskan mejanya dan memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia mengisi kotak yang ada di motornya dengan roti pesanan pelanggan. Padahal ini hari minggu, seharusnya ia duduk di depan TV sambil melihat serial kartun seperti Doraemon atau Spongebob. Tetapi ibunya sudah membuat telinganya berisik pagi-pagi. 

"Bintang" panggil ibunya

"Jangan sampai salah rumah" ia meniru kata-kata ibunya yang selalu diucapkan sebelum ia berangkat.

"Nah tuh tau, nanti pulang mampir beli bubur ayam ya"

"Berapa?"

"Kamu mau?"

"Iyalah, masa engga kan itu favorit Bintang"

"Yaudah 2"

"Ayah sama abang engga?"

"Mereka makan bubur hanya dalam keadaan sakit"

"Padahal bubur dimakan pada sehat lebih enak"

"Betul, sudah berangkat sana" 

"Salim dulu"

"Oh iya, ati-ati ya nak" sambil mengelus rambut anak tersayangnya itu. Lalu Bintang pun berangkat, entah hanya dia saja atau orang lain juga merasa bahwa suasana pagi pada hari Minggu berbeda dari hari-hari biasanya. Jalanan yang ia lewati terlihat lenggang, tak ada macet dimanapun, karna ini hari Minggu. 

Dia melihat teliti alamat yang ditulis ibunya, kadang ia sebal sama tulisan ibunya sendiri, menulis angka 7 seperti 1, dan lagi ketika diberi alamat ibunya di secarik kertas ia tak melihatnya terlebih dahulu, tapi langsung ia masukkan dalam sakunya. Kalau kaya begini dia bisa salah rumah, padahal tadi sudah percaya diri tidak akan salah rumah. Dia didepan rumah nomor 151. Dia sudah yakin yang tertera dalam kertas itu angka 151. Akhirnya ia memencet tombol rumah itu. Selang beberapa menit seorang lelaki dengan postur tinggi, kulit sawo matang dan rambut bondol menghampirinya.

"Cari siapa?" 

"Saya mau antar pesanan"

"Saya gak pesan apa-apa"

"Ini benar rumah ibu Arista?"

"Bukan, disini gak ada yang namanya ibu Arista" mampus! umpatnya dalam hati, bagaimana ini dia salah nomor. Bintang diam dan berfikir, sedangkan lelaki itu meniliti dirinya mulai dari atas sampai bawah, sepertinya ia pernah bertemu tapi lupa.

"Kayanya kita pernah bertemu?" Bintang seketika mendongakkan wajahnya, dia meneliti dan mencoba mengingat apakah ia pernah bertemu dengan lelaki yang ada dihubungannya. Dan...

"Kamu! kamu yang ngobrol bersamaku di halte bukan? eh iya apa ya?" dia mencoba memastikan, lelaki itu tersenyum melihat tingkah Bintang.

"Btw, kita belum kenalan. Tapi waktu itu kita seperti teman yang lama gak ketemu"

"Eh iya ya? aku juga gak sadar hehe" lelaki didepannya mengulur tangannya dan menampilkan senyum hangatnya.

"Kenalin, Buana"

"Bumi?"

"Tau artinya juga?"

"Iya tau dong haha"

"Namamu?"

"Ah aku? Bintang" dia membalas uluran tangan lelaki di depannya itu. Sebelum ia mengingat kembali masa bertemunya dengan Buana, dia menyadari sesuatu bahwa ia harus mengantar pesanannya.

"Kamu mau antar apa? salah alamat ya?"

"Iya nih, ibu nulisnya salah"

"Coba lihat" Bintang memberi secari kertas yang berisi alamat itu kepada Buana.

"Kayanya ini angka 7 deh bukan 1"

"Kayanya sih hehe, kadang tulisan ibu suka kurang jelas, jadi ya tadi aku nyoba dulu di nomor 151, kalau salah ya tinggal ke rumah no 157"

"Oh begitu, lain kali di note HP saja kalo misal tulisan ibumu gak bisa kamu pahami"

"Harusnya sih, yaudah aku balik ya"

"Eh bentar" Bintang berbalik dan melihat Buana yang menyodorkan ponsel kepadanya, ia terheran.

"Nomormu, siapa tahu kita bisa bertemu kembali" 

"Oh? oke" dia meraih ponsel tersebut dan mengetik nomornya disana.

"Nih udah"

"Oke makasi Bintang hati-hati"

Bintang pun berlalu dan memberikan pesanannya di rumah nomor 157, dan ternyata benar. Hal ini tak perlu dia laporkan ke ibunya, yang ada akan kena omel lagi. Dalam perjalanan dia memikirkan seorang yang sebulan ini tak ada kabar, entah kenapa orang tersebut suka sekali datang dan pergi sesukanya. Dan lagi kenapa ia selalu menerimanya walaupun sering kali selalu memaki dirinya untuk tidak menerima orang tersebut.

Masih bertanya siapa? tentu Alam.

Bintang tak bisa memahami jalan fikirannya, banyak pertanyaan yang ingin di ajukan kepada Alam dan dia tak pernah menjawab dengan benar. Isi kepalanya begitu misterius. Bintang menganggap dirinya sebagai rumah Alam, ia menganggap kemanapun Alam pergi, ia tetap pulang kepadanya. Tapi sepertinya kali ini ia sudah lelah dengan perilaku Alam, dia akan menutup pintu dalam rumah itu, yaitu hatinya sendiri. Tak ada lagi cela kini, biarkan dia datang dalam keadaan terkunci, tak peduli dia tidur di teras sampai kedinginan sekalipun. 

Terkadang Alam sangat egois terhadapnya, selama ini Bintang cukup diam dan tidak menanyakan apa kejelasan hubungan mereka sebab ia tak mau terlihat terburu-buru dan menuntut. Tapi hubungan ini sudah berjalan selama 2 tahun, ia merasa tergantung selama itu dan Alam yang suka datang dan pergi sesukanya masih di terima Bintang, Begitu konyol bukan? sudah berapa kali Bintang mengatakan dirinya begitu bodoh, dia selalu bertekad untuk menjauh dari Alam, tapi saat ia menjauh, Alam kembali lagi dan meluluhkan hatinya kembali. Lihatlah keegoisan manusia satu itu. 

Dia berhenti disuatu mini marekt untuk membeli ice cream coklat, untuk memulihkan otaknya yang mendidih karna memikirkan orang yang sebenarnya tak perlu dipedulikan, tapi terkadang memikirkan kelakuannya membuat senyum-senyum sendiri.

Bintang melihat di dalam kulkas itu tak ada ice cream yang ia cari, kenapa hal ini saja membuat dia makin kesal. Dia menuju kasir untuk menanyakan ketersediaan ice creamnya, dia tak menyerah, siapa tau di dalam ada stock bukan? 

"Mbak, ice cream coklat abis?"

"Abis mbak, barusan ada cowok borong semuanya?"

"Hah? mau mabok ice cream dia?"

"Hahaha kayanya si" Bintang memutuskan pulang, beraninya pelanggan itu mengambil semua ice cream coklat tanpa tersisa, harusnya ia berbagi kepadanya walaupun hanya satu.

Bintang memarkirkan motornya, baru saja  dia melepas helm. Seorang laki yang tak ingin ia lihat saat ini, ia keluar dari pintu toko ibunya dengan membawa kantong plastik, tanpa dosa ia tersenyum pada Bintang.

"Hai, aku datang" dia menyodorkan kantong plastik itu dengan senyum yang menyebalkan, karna senyum itu membuat benteng pada dirinya runtuh.

"Apa ini?"

"Ice cream coklat"

"Jadi? kamu yang memborong semua ice cream coklat?"

"Iya, kenapa? memangnya tidak boleh? kan ini untukmu"



Aku Bukan RumahWhere stories live. Discover now