1

178 10 0
                                    

Jika malam, dia tak bisa membedakan langit sedang mendung atau cerah, karena cahaya lampu di perkotaan menghalangi langit malam.

Hujan turun dengan deras secara tiba-tiba, Bintang berteduh di supermarket terdekat. Jika dia tak bawa pesanan, mungkin dia akan meneruskan perjalanan, sekalian hujan-hujanan, hal yang tak bisa dia ulang seperti dulu waktu kecil.

Ibunya sering memarahinya jika tau dia pulang dengan baju yang basah kuyup.

"Kenapa gak berteduh? kok sukanya main hujan-hujan. Nanti sakit gimana?"

Bintang hanya menjawab "Bintang kebal sama virus"

Dia mengamankan sekotak kue yang dibawanya agar tak basah oleh air hujan.

Suhu dingin menusuk kulit, tapi ia ingin membeli ice cream. Dia pun masuk ke dalam. Memilih ice cream yang diinginkan. Saat membayar, mbak kasir bertanya.

"Gak dingin mbak?"

"Saya lebih suka dingin dari pada panas" mbak kasir hanya tersenyum.

Dia duduk di depan supermarket sambil menikmati ice cream dan ditemani hujan.

Alam yang sedang merapatkan jaketnya, tak sengaja tatapanya tertuju pada seorang gadis yang sedang menikmati ice creamnya.

'Gak dingin apa?' batinnya

Lantas dia membuang pandangnya dan melihat jalanan yang masih diguyur air dari langit.

****

Seperti biasanya, setelah mencari buku yang dicari akhirnya ketemu. Dia tak mau berlama-lama di perpustakaan, karena keadaan sedang ramai.

Setelah memberi senyum kepada penjaga perpus, dia pergi ke kedai cafe terdekat. Dia sering ke tempat ini, selain nyaman, baristanya juga ramah. Sempat ngobrol tentang kopi, minuman yang sedang digandrungi oleh muda mudi.

Bintang mendorong pintu cafe lalu tersenyum kepada sang barista.

"Biasanya?" tanyanya

"Iya" lalu dia mencari tempat favoritnya, di sudut cafe yang bisa melihat jalanan luar. Ini adalah tempat favoritnya.

"Nih silakan dinikmati" barista datang dan menyajikan choco milk di mejanya

"Makasi, sepi ya?" sambil melihat penjuru cafe

"Bukannya kamu kesini pas cafe lagi sepi? kamu kan pernah bilang"

"Oh iya hehe"

"Dasar, pinjem buku apa?"

"Buku 'Anak-anak Revolusi' karangannya Budiman Sudjatmiko"

"Gue denger ada dua buku"

"Iya, ini yang ke satu"

"Oh" sambil mengangguk. Lalu barista tersebut pergi untuk melayani orang yang baru datang.

Dia memulai membuka halaman demi halaman.

****

Setelah Alam berpamitan kepada teman-temannya. Dia pergi ke cafe langganannya. Makalah yang dikumpulkan besok harus ia selesaikan sekarang.

Saat akan masuk cafe, dia melihat di dalam sudut cafe terdapat Galih, barista cafe tersebut, sedang berbincang kepada perempuan yang memakai setelan sweater, celana jeans dan sneakers. Tak lupa rambut yang dia gelung.

Diapun masuk ke dalam dan Galih langsung meninggalkan perempuan itu untuk menghampirinya.

"Selamat siang, mau pesan apa?"

"Jangan sok formal"

"Haha baru dateng udah jutek"

"Pusing gue mikir deadline"

"Ngopi dulu"

"Makanya gue kesini"

"Double espresso?" Alam menjawab dengan menunjukkan jempolnya.

Di dalam cafe, pengunjungnya hanya dia dan perempuan yang berada di sudut cafe tersebut. Dia fokus membaca buku yang Alam tebak 400 halaman.

Dia mengingat lagi, sepertinya dia pernah bertemu perempuan itu. Tapi dimana?

Diapun membuka laptop untuk mengerjakan makalahnya. Masih kesal dengan dosen yang memberinya tugas secara tiba-tiba seperti ini. Sudah menginjak semester 6, dia harus bisa lebih fokus untuk nanti saat menghadapi skripsi.

Galih menaruh kopinya di meja, langsung dia minum sedikit untuk memberikan sedikit semangat.

Perempuan itu masih fokus membaca, sedangkan dia yang mengerjakan makalahnya berusaha tak memandang perempuan itu. Dan masih berusaha mengingat, mereka pernah bertemu dimana.

Padahal, dia adalah tipe orang yang masa bodoh terhadap orang yang tak dia kenal. Tapi kenapa, matanya terus tertuju pada perempuan itu.

Dan pada akhirnya, perempuan itu menutup bukunya. Tak sengaja tatapan mereka bertemu. Ini lebih tepatnya, Alam sedang kepergok memandangnya.

Perempuan itu memutuskan pandangnya, membereskan barang yang ada di mejanya lalu menuju kasir. Dia melewati punggung alam.

"Kok cepet?" tanya Galih

"Ada urusan nih"

"Oh gitu"

"Yaudah, duluan ya"

"Oke, hati-hati"

Sampai perempuan itu membuka pintu, dan meninggalkan cafe. Alam masih memandangnya. Dan masih berusaha mengingatnya, tapi masih amnesia.

"Heh! jatuh cinta pada pandangan pertama?"

"Ngaco!"

"Ngeles ah" Alam mendengus

"Namanya Bintang, dia kesini kalo cafe lagi sepi. Contohnya hari ini" Alam memandang Galih dengan alis berkerut.

"Tapi seingat gue, dia kesini cuma hari senin aja"

"Gue gak nanya"

"Gue cuma kasih tau, siapa tau lo kepo, tapi malu nanya" setelah mengucapkan perkataanya, dia berlalu. Mulut Galih itu kadang ingin Alam sobek aja.

***

Aku Bukan RumahWhere stories live. Discover now