- XI -

42 12 81
                                    

Vey mengembuskan napas berat, langkahnya tampak lunglai saat keluar dari hotel The Ritz Carlton setelah acara peresmian perhiasan rancangan Trevor usai. Liam yang membututinya hanya menggelengkan kepala saat ia mengetahui alasan gadis itu datang terlambat.

"Untung saja aku masih sempat merekam sambutan Trevor sebelum kau datang. Kalau saja kau datang lebih awal, kita bisa mendapatkan posisi strategis dan mewawancarinya lebih banyak lagi." Liam menggerutu.

Karena setelah Trevor memberi sambutan, para wartawan langsung memberondonginya dengan segudang pertanyaan. Namun, karena posisi Vey dan Liam saling berjauhan, mereka tidak bisa mewawancari desainer itu dengan sempurna. Vey yang berdiri di depan memang sempat bertanya walaupun Trevor tidak menjawabnya dengan gamblang. Liam pun tidak bisa merekam wawancara singkat tersebut karena posisi dirinya yang berada di belakang. Semuanya tidak sesuai harapan sampai raut gadis bertopi itu terus ditekuk penuh penyesalan.

"Sudahlah, Li. Aku tidak mau membahasnya lagi," tanggap Vey lesu.

Pria di sampingnya hanya mengangguk, gelagatnya tampak aneh dengan kedua tangan memegang perut. "Aku ke toilet sebentar." Liam kembali memasuki hotel dan menyisakan Vey seorang diri di luar.

Angin malam berembus tenang, rambut panjang Vey tampak terkibas dengan pelan. Walaupun gadis itu sudah memakai pakaian lengan panjang, tetap saja rasa dingin ia rasakan. Membuat kedua tangannya saling berpelukan memberi usapan agar kehangatan datang. Sesekali ia melirik arloji di tangan, desahan pun terdengar saat patner kerjanya tak kunjung datang.

"Reporter Vey Avrodyta?"

Sontak Vey menoleh pada sosok di belakangnya. Kedua alis gadis itu menekuk sejenak, apa ia tidak salah dengar? Pemuda itu memanggilnya?

"Maaf," ucap sang pria. Tangan kanan yang sedari tadi tersembunyi di balik saku jas, kini ia ulurkan begitu saja.

Lagi-lagi Vey malah bergeming, otaknya dipenuhi tanda tanya. "Untuk apa?"

Tangan pria itu kembali memasuki saku, hendak mengambil sesuatu yang tak lain ialah barang milik sang lawan bicara. "Tadi aku menemukan kartu tanda pengenal kerjamu. Sepertinya terjatuh," tambah Tervor.

"Oh astaga. Aku ceroboh sekali. Terima kasih." Tangan gadis itu meraih benda tersebut. "Tapi ... kenapa kau minta maaf. Harusnya aku yang bilang begitu karena kau sudah repot-repot mau mengembalikannya," lanjut Vey dengan senyuman termanis yang sesekali ia tunjukan. Ia tidak pernah menduga akan berbicara langsung dengan sang idola.

"Maaf karena tadi aku tidak sengaja membaca note yang terselip pada wadah id card itu."

Bola mata Vey membulat, sangat jelas tenggorokannya bergerak akibat ia menelan saliva gugup. Itu adalah diary note yang ia tulis setiap harinya walaupun hanya beberapa kalimat. Namun, itulah kebiasaan dirinya sejak masih kuliah. Vey menganggap sekecil kisah bisa jadi penyemangat. Terlebih note diary yang ia tulis hari ini ialah menyangkut seorang pria. Ia sungguh merutuki dirinya bodoh, bisa-bisanya hal pribadi yang privasi diketahui oleh sosok desainer hebat, kecerebohoannya begitu memalukan.

"Ah i-itu ... tidak masalah. Note ini juga tidak penting." Kekehan menyertai ucapan gadis itu, ia bingung harus bicara seperti apa.

Trevor tersenyum simpul, anggukan tetapi tatapannya seolah mengisyaratkan ia tidak percaya. "Kasihan sekali kekasihmu itu. Padahal, note tersebut pasti untuknya."

"Bukan. Aku tidak punya kekasih," elak Vey dengan cepat. Seketika ia baru sadar, kenapa dirinya jadi seolah-olah tengah diinterogasi oleh Trevor? Lagipula apa urusannya hal ini dengan desainer itu? Sontak Vey langsung berdeham dan merapikan penampilan. "Maaf, aku permisi dulu." Karena tidak bisa berbincang lebih jauh lagi, gadis itu memilih mengundurkan diri.

Trevor Vellon memang idolanya, tetapi bukan berarti pemuda itu harus tahu hal yang bersifat privasi pada diri Vey. Gadis itu tidak menyukainya.

Terpaksa Vey kembali ke rumah dengan menaikki taksi. Dia tidak memikirkan Liam yang tadi ditinggalkan begitu saja. Toh rumah pria itu dekat dari sana. Lambaian tangan gadis itu tak kunjung membuat sebuah taksi berhenti. Padahal, sepuluh menit sudah terlewati dengan hanya berdiri di pinggir jalan. Waktu pun hampir menunjukan pukul sembilan.

Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di hadapan Vey. Gadis itu memundurkan langkah setelah menangkap ada yang tidak beres dengan mobil di depannya. Seketika dua orang berbadan kekar keluar dan langsung menarik tangan Vey paksa. Ia menjerit sembari terus memberontak mencoba melarikan diri. Namun, semuanya percuma. Kekuatannya tak sebanding dengan dua pria bermasker itu.

Sesaat sebelum mereka benar-benar berhasil menjebloskan Vey ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah tendangan keras menyambut kedua pria itu dari belakang. Sontak mereka tersungkur dan spontan Vey pun terlepas. Gadis itu menjauh seraya menyaksikan dua pria bersetelan hitam tengah bertarung dengan pemuda yang baru saja ia akui tampan beberapa jam lalu.

"G-gav?" dalih Vey. Benaknya masih tidak percaya pria berjas hitam itu sedang menolongnya.

Kesekian kali pemuda dengan gaya rambut baru itu berhasil menangkis serangan dari dua lawannya. Dengan lihai Gav membalas serangan tersebut dengan memelintir kedua tangan orang itu sekaligus. Bunyi retakan tulang seketika terdengar, dua pria tadi meringis merasakan remuk pada tubuhnya. Mereka berakhir terkapar sejenak, kemudian terbirit-birit dengan bersusah payah memasuki mobil.

Kedua tangan Gav beradu bermaksud memebersihkannya dari kotoran para penjahat barusan. Wajahnya menoleh pada sosok gadis di pinggir jalan yang sedari hanya mematung. Lagi-lagi pemuda itu memberi senyuman bak minuman memabukkan sehingga Vey tersadar dan langsung menghampirinya.

"Kau baik-baik saja? Apa ada yang luka?" tanya Vey memastikan.

Namun, tiba-tiba raut wajah pemuda di hadapannya berubah total. Gav mengernyit merasakan sesuatu yang aneh menerpa tubuh tepat saat Vey mendekatinya. Rahang Gav mengeras berusaha menahan gejolak tak biasa itu. Semakin lama perasaan aneh tersebut berubah menjadi rasa sakit bak ditaburi paku tajam. Mata Gav terpejam sejenak, mencoba menghalau kesakitan yang tengah dirasa. Pun dengan tangan yang mengepal kuat saat rasa panas seketika menjalar di tubuhnya. Ditambah pusing yang spontan mendera kepala, seakan-akan tengah ditimpa begitu banyak batu. Gav terus meringis, ia semakin berusaha sekuat tenaga untuk menahan sakit pada tubuhnya.

Hal tersebut membuat Vey semakin cemas. Ia tidak mau ada orang lain yang terluka karena dirinya. "Gav, kau tidak apa-apa? Kau seperti sedang kesakitan."

Tak menggubris perkataan gadis itu, Gav malah berlari kencang tanpa arah. Entah kenapa, sekarang Gav seperti bukan dirinya. Seolah sesuatu baru saja menyerang dan membuat pria itu hilang kendali.

Tatapan nanar menyertai Vey saat menyaksikan sosok penolong tadi malah meninggalkannya begitu saja. Padahal, sebelumnya Gav mati-matian menolong Vey. Ia menggelengkan kepala singkat, benaknya tidak mengerti dengan kelakuan pemuda yang beberapa hari ini terus saja berjumpa dengannya.

"Ada apa dengan dia? Aneh sekali," desis Vey. Hatinya dibalut sedikit kekesalan juga kecemasan.

EVIGHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang