CHAPTER 5

1.1K 96 83
                                    

RESTRAINT

"Semua orangtua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun tak semua anak mau hidupnya diatur oleh orangtua."

✿✿✿

Gesekan sepatu dengan permukaan lantai telah menciptakan suara abstrak. Suara itu seringkali disebut derap langkah. Derap langkah milik seorang siswi yang bermuara dari koridor nan sepi. Koridor itu akan menuntunnya menuju kantor guru.

Suasana begitu sunyi. Hening. Hanya derap langkahnya yang mendominasi keramaian di sekitar. Sepasang netra menilik setiap kelas yang ia lalui. Sejumlah siswa terlihat begitu khusyuk melakukan kegiatan pembelajaran. Seharusnya ia juga harus begitu. Akan tetapi ia memilih mangkir dan keluar dari kelas.

Seperti biasa ia seringkali absen ketika pelajaran matematika. Pelajaran itu adalah pelajaran yang sangat ia benci. Pikirnya tak perlu mempelajari algoritma, bangun ruang, dan semacamnya. Yang dibutuhkan dalam berbelanja di pasar hanya menggunakan hitungan biasa seperti penambahan dan pengurangan.

Siswi itu pun sampai di tujuan akhirnya. Kantor guru. Kali ini ia datang bukan karena dipanggil guru dengan alasan membuat onar, akan tetapi ia hendak menemui seorang guru yang ia yakini berada di sana.

Risa mendirikan kakinya di ambang pintu. Pandangan mata mengedar luas merekam setiap aksi. Segelintir pengajar tengah menetap di meja kerja dengan kesibukannya masing-masing. Pandangannya pun tertuju pada seorang pria memakai seragam olahraga. Pria itu sibuk memperhatikan layar ponselnya sambil senyum-senyum sendiri.

Risa mengayunkan kaki menghampiri pria itu. Begitu asyiknya ia menatap layar ponsel hingga tak menyadari keberadaan Risa yang sudah ada di depan mejanya.

"Pak Rio," panggil Risa namun tak mendapatkan balasan dari pria itu.

Risa mencoba keberuntungannya sekali lagi untuk memanggilnya. Barangkali kesempatan kedua ini akan membuahkan hasil yang baik. "Pak Rio."

Risa mengerucutkan bibir. Sepasang bola mata berotasi cepat. Ia terlihat menahan kesal. Terlihat jelas dari alisnya yang mengangkat satu serta kening yang mengerut.

Risa berdecak sebal. Bila amarah seseorang bisa ditakar mungkin saja amarah Risa saat ini berada di posisi paling atas. "PAK RIO!" seru Risa dengan intonasi tinggi. Kedua tangannya menepak permukaan meja pria itu hingga membuatnya terkejut.

"Hei, siapa itu." Pria itu spontan berposisi nekoashi dachi. Tangannya refleks melepas ponsel di atas meja.

Pria bernama Rio Febrian itu menghela napas panjang usai mengetahui keberadaan Risa. "Kamu rupanya."

Rio berbalik badan mendirikan kursinya yang terbalik. Lalu ia mendaratkan tulang duduknya di atas kursi dengan bantalan empuk itu. "Ada perihal apa kamu menemui Bapak?"

"Risa mau daftar karate, Pak."

Rio menilik Risa dari anggota tubuh bagian atas sampai anggota tubuh bagian bawah. Memperhatikan Risa dengan tatapan heran. "Sebelumnya ikut ekstrakurikuler apa?"

"Seni lukis, Pak."

"Sudah bicara dengan pembinanya kalau kamu mau keluar."

Risa terdiam sejenak. Sebetulnya ia belum berbicara sama sekali dengan Trisnawati selaku pembina ekstrakurikuler seni lukis mengenai pengunduran dirinya. Ia tak berpikir sampai sejauh itu. "Su...sudah, Pak."

Rio memajukan kursinya agar lebih dekat dengan Risa. Tangannya menyentuh dagu lalu menggaruknya perlahan. Tatapan mata yang ia tunjukkan seperti polisi tengah menginterogasi maling yang tertangkap basah mencuri. "Yakin sudah bicara dengan pembina kamu?"

She's Dating a Cold BoyWhere stories live. Discover now