CHAPTER 16

223 6 33
                                    

SECRET

"Tidak semua hal perlu diceritakan, dan tidak semua orang dapat dipercaya."

✿✿✿

Risa memandang lama tampilan layar ponselnya. Dari layar itu menampilkan 12 angka beserta seuntai nama. Ia memandang cukup lama. Sorotan mata teduhnya tak lekas oleh waktu.

"Kok Adrian berhenti karate, sih."

Keningnya mengerut begitu saja. Netra memandang kosong plafon kamar bertema minimalis. Bibirnya sedikit membuka. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Apa karena gue yang sering ngikutin jadinya dia risih," duganya.

Helaan napas panjang dicurahkan melalui mulutnya. Mimik wajah berangsur merubah diri menjadi lesu. Seakan otot wajahnya sudah tak berfungsi lagi. Netra pun menggelincir ke bawah memandang layar ponsel. Jemarinya menutuk lambat permukaan layar ponselnya yang mati. Tampaknya ia tengah memikirkan sesuatu.

"Mending gue telpon deh biar jelas."

Risa memerintah ibu jari untuk memencet tombol hijau, tombol panggilan. Suara menunggu panggilan kini memenuhi seisi kamarnya. Lalu ia merekatkan ponselnya di samping telinga sembari menunggu seseorang di seberang sana menerima panggilan.

"Yah... nggak diangkat," keluh Risa. Netra beralih memandang benda bulat yang terpajang di dinding sebelahnya. "Padahal masih jam sembilan."

Ibu jari kembali menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan pada kontak itu."Gue coba lagi, deh." Risa menggunakan kesempatan keduanya. Barangkali kesempatan kali ini berbuah hal yang baik.

"Halo."

Risa spontan membulatkan mata usai mendengar suara penerima panggilan. Raut wajahnya terlihat begitu antusias hingga ia menampilkan senyum sumringah. "Halo, Adrian."

"Adrian?"

Sejumlah kerutan mulai muncul di parasan keningnya. Ia menjauhkan ponsel itu sejenak dari telinga dengan tatapan bingung. "Lo... Adrian, kan?"

"Bukan, Mbak. Kita dari Jasa Sewa Badut Ulang Tahun. Oh, iya, Mbak mau sewa badut kita? Bulan ini kami mengadakan promo...."

Tanpa pertimbangan ibu jari langsung menekan tombol merah. Tombol itu mengakhiri panggilan secara sepihak. Risa tak memberinya kesempatan untuk berbicara. Pikirnya hanya membuang waktu saja.

"DASAR ADRIAN IDIOT!" pekik Risa seraya memejamkan mata. Sejumlah pembuluh darah kini bereksistensi di pelipisnya.

Risa yang semula terbaring lurus mengganti posisinya dengan duduk bersila di atas kasur. Manik mata menggelincir sampai sudut. Ia menemukan benda yang dibutuhkan saat ini, bantal. Tangannya meraih bantal itu dan menaruh tepat di hadapannya. Ia tak segan melayangkan pukulan demi pukulan pada bantal itu seperti samsak tinju.

"BENER-BENER LO YA BIKIN GUE EMOSI."

Seolah tak mengenal kata lelah. Risa terus melayangkan pukulan pada bantal yang tak bersalah itu. "KENAPA... GUE... BISA SUKA... SAMA COWOK KAYAK LO!"

Energi yang dikeluarkan tak sebanding dengan oksigen yang ditangkapnya. Hal itu menyebabkan Risa sulit untuk berbicara. Bahkan napasnya memburu seperti dikejar hewan yang menakutkan seperti angsa. Mona yang baru saja melintasi pintu kamarnya tak sengaja mendengar keluhan Risa. Saat itu juga Mona mendekatkan telinganya dengan permukaan pintu. Ia tengah memastikan apa yang ia dengar barusan adalah suara Risa.

"DASAR KULKAS!"

Satu tangan Mona bergerak pelan menyentuh pintu. Namun tak sampai dua detik Mona kembali menurunkan tangannya. Mengurungkan niat. Barangkali ia telah memikirkan apa yang akan ia dapat apabila menegur gadis yang tengah meluapkan amarahnya.

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang