BAB 64

22.4K 1.9K 63
                                    

Btw, ini kalian sudah membaca edisi novel sejauh ini. Yakin masih gak mau beli bukunya? Hayooooo

Oke, sebagai feedback-nya, ramein tiap paragraf yaaaa

.

.

Sepi. Bukan hanya rumah, tapi hati Selatan juga merasa kesepian dan kehampaan yang nyata setelah Utara dirawat di rumah sakit. Sekolah, belajar, makan, atau sebut saja hidup, semuanya kehilangan gairah dalam diri seorang Selatan. Ia tidak bisa tertawa lepas bersama teman-temannya sebelum Utara sadarkan diri dan dinyatakan baik-baik saja.

Bumi juga tidak akan sempurna jika hanya ada Kutub Selatan tanpa adanya Kutub Utara. Sekarang, Kutub Selatan tengah bersedih, Kutub Utara sedang diambang kehancuran.

Mesin EKG itu mengeluarkan bunyi yang konstan, grafiknya seperti rumput yang terus bergerak beraturan. Cewek itu banyak ditopang oleh alat-alat untuk bertahan. Matanya masih terpejam dengan beberapa memar yang ada di wajahnya, dan perban putih itu melilit kepalanya. Utara hanya bertahan dengan bermodalkan alat-alat yang sangat Selatan impikan untuk cita-citanya kelak.

Selatan duduk, masih sama. Setiap pulang sekolah, selama Utara koma satu minggu ini dia selalu langsung menemuinya. Harapan Selatan sama, dan akan selalu sama, yaitu melihat dua iris mata Utara yang kembali menatapnya dengan sengit, marah, sendu, kesal. Ia ingin mendengar suara tawanya. Semuanya Selatan rindukan termasuk saat dia menginjak kakinya sampai jempolnya terasa berdenyut.

"Halo, apa kabar, cinta? Nggak bosen apa, merem mulu kayak ayam."

Selatan cekikikan sendiri. "Eh, ayam merem mulu, ya?"

"Sayangnya Ata, anjay tekanjay-kanjay, sayang." Selatan menoel punggung tangan Utara, lalu beralih meletakkannya di pipi, kemudian mencium punggung tangannya. "Uta ...."

"Uta, bangun, yuk. Uta jelek, ceroboh, gampang dibodohin, rusuh, si musuh, bangun dong ... udah ditungguin sama orang ganteng ini." Selatan mengusap satu bulir air matanya yang mengalir. "Dih, apaan gue sampe nangis."

"Kangen ....." Selatan kembali meletakkan tangan Utara di pipinya. "Kangen rusuh, kangen liat lo marah, ngambek, mencak-mencak, kangen kaki diinjak, kangen rebutan remote, kangen bangunin buat sekolah, kangen gedor-gedor pintu kamar, kangen rebutan kursi makan, kangen ngeliat wajah Uta memerah malu— kangen semuanya."

"Uta nggak kangen apa?"

"Kalau Ata, sih, kangen. Banget malah."

Selatan menjeda sejenak, membiarkan suara mesin EKG dan detak jarum jam untuk mendominasi. "Uta, jangan lama-lama kayak gini."

"Uta, ini namanya menyiksa. Uta bangun, dong."

"Berapa lama lagi? Ata nggak mau lama-lama, Ata maunya ngerusuh lagi."

"Uta buka mata, atau dicium dulu, nih?" Selatan menghitung sampai sepuluh, tapi Utara masih belum juga bahkan tidak ada tanda-tanda membuka matanya. "Oke." Ia memajukan wajahnya, dan mencium pipi kanan dan kiri Utara. "Udah dicium."

Namun, cewek itu masih sama, tidak ada yang berubah. Dadanya masih naik turun konstan. Matanya tertutup rapat membuat wajahnya tampak tenang. Selatan merindukan omelan dari bibir tipisnya yang sekarang pucat. Selatan merindukan semua kebersamaannya dengan Utara, juga perdebatan yang selalu membuatnya terhibur.

"Kasih tantangan, deh. Kalau sampai malam ini Uta nggak bangun berarti Ata menang. Sebaliknya, kalau Uta bangun, berarti Uta yang menang. Coba

patahin 'Ata selalu menang dari Uta, begitu seterusnya'."

"Tan ...." suara itu menginterupsi Selatan. Ia menoleh ke arah pintu.

Daffa ternyata.

"Mau apa?"

Utara & Selatan [#DS1 Selatan| END]Where stories live. Discover now