O - 19

1.3K 366 17
                                    

"Jadi sudah bisa lepas ya?" Pria itu berdecak kagum sembari bertepuk tangan. Ia mengukir senyum remeh pada putranya yang berdiri di depannya. "Buat apa kabur? Kamu mau di luar sana? Di makan zombie?" Dia tertawa tidak percaya.

Doyoung menatap biasa saja pria di depannya. Tangannya sibuk menyembunyikan benda yang dia bawa juga secarik kertas.

Pria itu berhenti tertawa. "Lebih baik kamu disini. Nanti malam kalau Kim Junkyu belum di temukan," Pria itu tersenyum miring. "Itu artinya dia sudah mati dan tidak berguna lagi. Oh ya," Dia mengambil ponsel di tangan salah satu pesuruhnya. "Nanti saat kita keluar dari sini, Busan akan langsung di bom. Dan.. Junkyu tidak akan pernah selamat."

Doyoung menelan ludah.

"Jadi, lebih baik kamu beri tahu Kim Junkyu dimana sekarang." Pria itu tersenyum miring setelah menawarkan sesuatu yang sudah pasti tidak bisa di tolak Doyoung.

Tangan Doyoung mencengkram kuat benda itu sambil menggertakkan gigi. Dia mengangguk. "Saya beri tahu dimana Junkyu Hyung."

***

Mobil itu keluar dari markas diikuti beberapa mobil lain di belakang. Hari sudah malam, jadi mereka menyiapkan satu mobil khusus untuk pengecoh yang dapat membunyikan suara kencang.

Doyoung terus menatap ke jendela. Luka di bahunya sudah di sembuhkan. Peluru di bahunya sudah di keluarkan, dan kulitnya yang robek sudah di jahit rapi. Sekarang, Doyoung hanya membutuhkan waktu sampai benar-benar pulih. Doyoung bahkan sudah mengganti bajunya― kemauan Ayahnya.

"Apa kau yakin, Kim Junkyu ada di toko obat?" Tanya Pria itu memastikan. Doyoung menghela nafas berat lalu mengangguk masih dengan posisi yang sama. Ayahnya itu mangut-mangut. "Hanya memastikan saja. Jika Junkyu tidak ada disan―"

"Itu artinya dia sudah pergi, bukan tidak ada." Potong Doyoung jengah. Ayahnya itu tertawa pelan.

"Kamu.. Benar-benar pembaca pikiran yang baik ya? Ayah bingung, kenapa kamu bisa seperti ini? Padahal, Ayah atau Ib―"

"Jangan panggil dia dengan mulut busuk anda." Potong Doyoung menatap tajam pria di sebelahnya. Ayahnya tertawa lalu mengendik bahu tidak perduli.

"Memang kenapa? Dia istriku, ah, maksud saya, mantan istri."

"Diam." Doyoung berdesis.

Pria itu tertawa sekali lalu mengangguk saja. Ia mengukir senyum miring. "Apa.. Kau mau tau sesuatu Nak?"

Doyoung tidak menjawab meski dia penasaran.

Pria itu terkekeh. "Kamu bukan bersaudara dua, tapi tiga. Mama kamu bawa anak pertama sedangkan kamu dan Junkyu ikut dengan Papa."

Doyoung tersenyum dalam diam. Jadi, selama ini, apa yang dia duga adalah fakta? Wow, kemampuannya memang menguntungkan.

***

"Junkyu lo kenapa sih??" Jihoon bertanya panik. Keadaan Junkyu saat ini sangat memprihatinkan. Sejak tadi, Koala berkedok seorang pemuda itu terus-terusan sesak nafas. Beberapa kali Jihoon memberikan Junkyu Inhaler namun keadaan Junkyu tidak kunjung membaik.

Mashiho dan Asahi hanya duduk diam melihat keadaan Junkyu. Mereka berdua tidak tau apa-apa dan hanya membantu saat Jihoon menyuruh.

Junkyu menekan kuat dadanya. Perasaannya saat ini sangat aneh. Ia tidak tau pasti, tetapi Junkyu rasa akan ada sesuatu yang membuatnya menangis sampai menjerit-jerit lalu berakhir gila. Junkyu tidak tau apa yang akan terjadi, tapi dia harap, hal itu tidak akan pernah terjadi.

Jihoon mengambil air botol lalu memberikannya pada Junkyu. Hanya hal itu yang bisa Jihoon lakukan. Mashiho dan Asahi menjauh agar Junkyu punya banyak ruang.

Tiba-tiba Mashiho jadi kepikiran. "Apa Junkyu hyung punya penyakit ketakutan berlebihan? Apa ada yang buat Kak Junkyu takut?" Tanya Mashiho. Junkyu tidak langsung menjawab, dia sibuk menetralkan pernafasannya.

"Ada.. Sesuatu yang gua takutin.. Tapi gua gak tau itu apa.." Jawab Junkyu akhirnya. Mashiho mengangguk-angguk paham. Tiba-tiba saja, Junkyu menangis membuat tiga orang itu heran. "Gua gak mau Doyoung sampai kenapa-napa... Gua takut.. Perasaan ini karna.."

Jihoon mengelusi punggung Junkyu yang bergetar.

Mashiho menghela nafas. "Tapi apa lo yakin itu perasaan yang terjadi sama orang lain? Gimana kalo itu.. Untuk diri lo sendiri Kak?"

"Mashiho." Tegur Jihoon serius.

Asahi ingin membenarkan ucapan Mashiho. Dia juga terfikir seperti itu. Bagaimana kalau hal ini terjadi karna Junkyu kenapa-napa nantinya? Tapi Asahi lebih suka diam.

Jihoon membenarkan duduknya lalu menghadapkan Junkyu untuk menatapnya. "Pasti ada perasaan yang buat lo bersalah. Kalo lo mau, cerita sama kita."

***

Malam hari di luar, memang sangat menyakitkan bagi kulit rentan atau lemah. Sama halnya dengan Haruto yang menggigil dingin. Dia hanya memakai kaos hitam dan itu benar-benar tidak bisa di- toleransi rasa sakitnya.

Sedangkan Yoonbin tidak bereaksi apapun, hanya diam saja. Tapi sesekali, Yoonbin akan melirik Haruto, memastikan kalau pemuda jakung itu tidak tertinggal.

Haruto mencengkram kuat dadanya. Dia sesek nafas. Haruto tidak kuat menghirup udara Busan saat ini. Haruto ingin cepat-cepat keluar dari sini dan kembali dengan kehidupan normalnya.

Yoonbin menghela nafas berat lalu merangkul Haruto untuk dia papah lagi. Sama seperti Haruto, Yoonbin ingin keluar dari Busan secepatnya dan kembali ke kehidupan normalnya. Dia memang benci di bandingkan oleh Mamanya, tapi karna ketidaksukaannya itu, Yoonbin jadi pergi ke Busan dan.. Berakhir seperti ini.

Sekarang Ha Yoonbin tau apa itu karma meninggalkan orang tua.

Haruto berhenti berjalan lalu memuntahkan semua isi perutnya. Jika terus speerti ini, perut Haruto bisa kosong dan kelaparan nantinya. Yoonbin tidak tau lagi harus melakukan apa, Haruto terlalu menyedihkan saat ini.

"Berjuang, setidaknya sampai kita dapat mobil." Kata Yoonbin kembali merangkul Haruto. Pemuda jakung itu tidak merespon.

Netra gelap Yoonbin melihat sebuah jembatan di ujung sana. Diam-diam Yoonbin mengukir senyum kecil karna dia yakin, jembatan itu bisa membawanya pada perbatasan. Tapi Yoonbin sedikit khawatir, kalau naik mobil pasti tidak cukup kuat untuk menabrak banyaknya zombie di Yeonsan.

Haruto merunduk sambil bertopang di lutut. Dia lelah berjalan kaki. Tidak mungkin keluar dari Busan tanpa kendaraan satu pun. Haruto ke Minimarket depan saja harus pakai motor.

Yoonbin ingin berjalan kembali, namun Haruto menghentikan langkah Yoonbin. "Biarin gua istirahat bentar. Mual banget..wlee."

Yoonbin meringis. Dia mengangguk genap lalu membantu Haruto duduk di trotoar. Tangannya ia pakai untuk mengusap-usap punggung Haruto agar lebih baik setidaknya. Dia juga memperhatikan kakinya. Perban itu sudah sangat buruk, makanya Yoonbin melepasnya karna tidak nyaman. Bekas luka itu robek, pantas saja saat lari Yoonbin merasa sakit sekali di bagian kaki.

Haruto menahan perutnya dengan tangan. Sambil meringis, dia memutar pandangan. Busan benar-benar hancur, tidak ada lagi yang bisa di harapkan. Haruto merasa pedih di buatnya. Busan adalah tempat dimana asramanya berada. Tempat dia pertama kali berkunjung ke Korea. Namun sekarang, Busan hancur dalam satu hari.

Kini Haruto hanya ingin, semua teman-temannya selamat, terutama teman Jepangnya.

***

[I] OUT✓Where stories live. Discover now