Bab 54 - Kan Sakit...

143 36 12
                                    

"Coach Felix?"

Izy terkejut mendapati pelatihnya duduk di ruang tamu sepulang ia sekolah. Naura yang kebetulan libur hari itu datang membawa secangkir teh dan setoples kecil kue kering untuk disajikan pada sang pelatih.

"Ada apa, Coach?" Izy menghampiri, langsung mengambil duduk di sisi lain tanpa menanggalkan tasnya terlebih dahulu.

"Galen, Zy."

Perut Izy mencelos mendengar nama Galen disebut. "Kenapa Galen?"

"Galen sakit. Dia nggak mau minum obat, nggak mau dipanggilin dokter, nggak mau ke rumah sakit juga. Kalau sampai besok demamnya belum turun, dia harus cek darah."

Jari-jari Izy bertaut dengan sendirinya. Walau ia sedang mencoba untuk tidak memikirkan Galen lagi, kabar yang dibawa Coach Felix terlalu mengkhawatirkan.

"Saya tahu kamu ada masalah sama dia. Tapi mungkin kamu satu-satunya orang yang mau dia dengerin. Kalau kamu bersedia, tolong bantu bujuk Galen untuk paling nggak minum paracetamol."

Izy bimbang bukan main. Ia baru separuh jalan melupakan kejadian di Press Gala. Hari-harinya mulai tenang. Namun, kondisi Galen juga tidak bisa diabaikan. Apalagi Coach Felix sampai turun tangan minta bantuan Izy. Mungkin kali ini Izy bisa menggunakan hati nurani sebagai landasan?

"Gimana ya, Re?" Izy menghubungi Renata minta saran. Bagaimana pun Renata lebih lama mengenal Galen.

"Kalo lu tanya gue sih, gue bakal kirim orang buat ngebius dia biar dia bisa diangkut ke rumah sakit."

Apa...Izy bertanya pada orang yang salah?

"Lo belum bisa maafin Galen?"

Izy hening. Kata maaf begitu berat untuk Izy. Saat ini Izy hanya ingin melupakan segalanya.

"Gue punya sesuatu yang mungkin bisa bantu lo bikin keputusan."

***

Galen merana.

Tidak jelas mana rasa sakit yang lebih membuatnya tersiksa. Demam yang menggila? Denyut lebam akibat tinju Darren? Atau hatinya yang tak henti melolong memanggil nama Izy? Bahkan untuk bisa terlelap pun ia harus berjuang keras.

Telepon kecil di meja nakas samping tempat tidur berdering. Nomor meja resepsionis menyala. Galen menjulurkan tangan untuk meraih gagang telepon.

"Mas Galen, ini ada kiriman makanan buat Mas," sapa suara medok satpam di lobi. Pasti Coach Felix yang memesannya, tebak Galen.

"Maaf, Mas, boleh tolong dianterin ke kamar nggak? Saya lagi sakit," sahut Galen lemah.

"Oh, baik, Mas. Saya suruh orang antar ke atas ya."

5 menit kemudian, pintu kamar Galen diketuk. Galen memaksakan diri turun dari tempat tidur. Sedikit terhuyung, ia membuka pintu. Pandangan Galen sedang tidak fokus. Yang ia lihat hanya lantai dan sepatu berwarna putih.

"Makasih ya. Maaf ngerepotin."

Kemudian Galen tertegun ketika separuh jalan membalik tubuh. Ada rasa yang familiar saat jarinya dan si pembawa makanan tak sengaja bersentuhan.

Galen mendongak, memastikan ia tak berkhayal. Sosok berjaket hoodie merah marun itu telah memunggungi Galen, bersiap pergi. Dengan segala tenaga yang tersisa, Galen menangkap lengan orang itu dan mendekapnya.

Hoodie tersingkap. Wajah Izy terbenam ke dalam pelukan Galen.

"Jangan pergi," desah Galen terus memeluk lebih erat. "Please..."

Drop ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang