Bab 18 - Di Hamparan Kebun Teh

142 42 4
                                    

"Hati-hati. Jangan misah dari rombongan. Mama nggak mau jemput ke Puncak weekend-weekend gini."

Terngiang peringatan dari ibunya sebelum berangkat tadi pagi. Izy sempat menganggap remeh. Mana mungkin dia bisa tersasar? Outing di Puncak, di villa pribadi pula. Hingga petang ini, Izy mendapati dirinya dalam situasi yang horor—berdiri seorang diri di tengah kebun teh, menggenggam ponsel nihil daya.

"Mamaaa! Jempuuut!" teriak Izy putus asa.

* * *

1 jam yang lalu, Izy bersama Cynthia, Diaz, Una, Daniel dan Zico mengunjungi pasar malam yang terletak tak jauh dari villa. Pasar malam itu mengingatkan Izy pada pasar malam yang pernah ia kunjungi di Bangkok. Komedi putar, jajanan lezat, permainan berhadiah boneka, photobox, dan banyak lagi hal-hal menyenangkan yang mereka lakukan di sana.

Hingga Izy menyaksikan seseorang membawa sebuah kandang kelinci tenteng lengkap dengan seekor kelinci abu-abu kecil dari arah belakang komedi putar. Ada yang jual kelinci?

Izy awalnya hanya berniat berpisah sejenak dari rombongan. Sekadar mencari tahu apakah tebakannya benar. Namun Izy malah larut mengikuti nyala lampu-lampu kecil mirip kunang-kunang yang memagari jalan setapak menuju kebun teh.

Getar ponsel keras menghentikan langkah Izy. Bukan pesan atau panggilan masuk, melainkan tanda kalau ponsel itu mati total. "Lah?! Tadi nggak ke-charged?!" Izy ingat ia sudah menancapkan ujung charger ke lubang colokan sebelum berangkat selama 1 jam. Pasti stop kontaknya rusak.

Berniat kembali, Izy pun membalik tubuh. Betapa terkejutnya ia saat tidak menemukan lampu-lampu yang membawanya tadi ke sana. Semuanya gelap total. Hanya hamparan kebun teh. Dan dia berdiri seorang diri di sana.

"Mamaaa! Jempuuut!" Izy menjerit walau tahu ibunya tak akan mendengar. Bagaimana caranya pulang sekarang? Izy kan paling payah soal mengingat arah.

Izy berjongkok kemudian melakukan satu-satunya hal yang ia bisa: menangis.

"Mama... Jemput..." Ia menyerukan hal yang sama, tapi kali ini tanpa tenaga.

Alasan kenapa ibunya berpesan agar ia tidak berpisah dari rombongan adalah karena dulu saat SD Izy pernah terpisah dari rombongan pikniknya dan nyaris fatal.

Sepasang suami-istri menemukan Izy menangis sendirian di dekat sungai dan membawa Izy ke rumah mereka. Mereka menyuguhkan Izy berbagai kue tradisional dan secangkir teh hangat. Yang Izy ingat kemudian adalah ia terlelap kemudian terbangun di pelukan ibunya yang menangis histeris. 5 tahun kemudian barulah ibunya berani bercerita kalau kedua orang yang memungut Izy itu adalah anggota sindikat perdagangan anak kecil yang menjadi buronan Polisi. Izy hampir saja dijual ke Tiongkok.

"Mama..."

Tiba-tiba sebuah sentuhan dingin ia rasakan di dekat tengkuknya. Izy pun terperanjat kaget, memekik dan kehilangan keseimbangan. Saat menoleh, ia menyaksikan Galen Valda mencoba meraih tangannya, tapi terlambat. Izy terlanjur menggelinding.

Iya.

Menggelinding.

Seperti bola.

Di hadapan Galen.

"Lo... Baik-baik aja?" Galen menghampiri. Dia tidak tertawa, melainkan mengangkat kedua kelopak matanya tinggi-tinggi. Terlalu takjub dengan apa yang terjadi pada Izy barusan.

"Baik-baik? GUE NYANGKUT! BANTUIN, NAPA?" Izy menendang-nendang di udara dari pantatnya yang tersangkut di rimbunnya tanaman teh.

Galen mengulurkan tangannya, menangkap telapak tangan Izy kemudian menarik Izy dengan kuat. Terlalu kuat sampai-sampai tubuh mereka beradu. Izy terhuyung. Namun sebelum Izy menggelinding untuk kedua kalinya, Galen cepat-cepat meletakkan tangannya di punggung Izy untuk menahan.

Izy belum pernah berada sedekat ini dengan Galen. Izy seperti disodorkan kaca pembesar untuk menyaksikan segala yang ada di wajah Galen dari dekat. Alis tebal tapi tetap rapi pada jalurnya. Batang hidung tinggi. Wajah oval namun garis rahangnya cukup tegas. Kulit bersih, hanya beberapa jerawat bertengger di daerah pipi. Bibir dengan garis datar, tak pernah sekali pun Izy melihatnya tersimpul.

Lalu matanya.

Mata yang selama ini Izy pikir mati, pernah menyala sekali saat Izy bilang kalau Ian akan mengalahkannya di lapangan. Kali ini pun Izy menangkap seberkas cahaya di bola mata Galen. Tidak berkobar seperti tempo hari. Melainkan redup dan sedikit sendu. Izy punya firasat, cahaya itulah yang mati-matian Galen jaga hingga hari ini.

"Kalau gue lepas..." Galen tiba-tiba berucap. Suaranya dalam. Izy tak tahu dia bisa bersuara sedalam itu. "Lo bakal jatuh lagi nggak?"

Izy tersentak dan langsung melompat mundur. Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya terlena di dekapan Galen? Memang sih tubuh laki-laki itu begitu hangat, mencolok dengan udara Puncak yang semakin dingin. Pikiran liar Izy bahkan hampir menggerakkan tangannya memeluk pinggang Galen.

Sadar, Izy! Sadar! Ada Ian di sekolah!

"Lo nggak liat gue nangis kan barusan?"

"Liat," sahut Galen kembali pendek dan datar seperti biasa.

"Jangan bilang ke anak-anak kalau gue tadi nangis ya."

Galen bergeming pada ancaman Izy. "Buat apa gue bilang ke mereka?"

"Ngeledekin gue mungkin?" Temperamen Izy mulai naik. Selalu begini kalau sama cowok ini.

"Trus buat apa?"

Izy terdiam. Benar juga. Apa faedahnya Galen menjatuhkan image Izy di hadapan semua orang? Izy sudah menjatuhkannya berkeping-keping lewat cerita hairdryer-nya yang konyol.

"Gue takut nyasar."

"Gue tau."

"Tau dari mana?" Izy membelalak.

"Barusan lo nangis."

"Oh iya."

Izy tiba-tiba mengetuk kepalanya dua kali. Menyaksikan hal itu, Galen bertanya lagi, "Kepala lo kebentur?"

Inikah wajah cemas Galen? Izy bertanya-tanya. Kenapa tidak ada bedanya dengan muka cowok itu biasanya?

"Kagak. Pusing aja ngomong sama lo," sahut Izy ketus.

Izy menoleh ke sekeliling mereka. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan kebun teh. Hal itu yang membuat Izy panik sampai menangis barusan.

"Kenapa lo di sini?" Izy memastikan. Jangan sampai Galen juga ternyata tersesat.

"Tadi gue diajak Renata. Ini perkebunan tehnya Altra."

"Ah, kencan toh. Romantis bener," cibir Izy. "Trus Renatanya mana?" Izy celingukan mencari sosoknya sebelum dikutuk jadi batu.

"Balik ke villa duluan. Ada IG Live. Lo sendiri kenapa bisa di sini?"

"Kelinci."

"Kelinci?"

"Pas di pasar malam gue liat ada orang bawa kelinci dari arah sini. Ada jalan kecil di belakang komedi putar. Trus gue liat lampu-lampu cantik, gue ikutin. Tiba-tiba gue udah di sini." Izy celingukan. "Tapi mana lampu-lampunya ya? Tadi beneran ada, bagus banget!" Izy mencoba meyakinkan Galen seakan-akan takut Galen menganggap ceritanya bohong.

"Di sini sempet mati lampu."

"Oh, pantesan."

"Cari kelinci buat Reo?"

Izy membelalak. "Kok tau?"

Alih-alih menjawab, Galen mengedik ke arah atas. "Yang jaga kebun ini punya peternakan kelinci."

Mood Izy langsung berubah seratus delapan puluh derajat mendengar kabar gembira itu. Tanpa pikir panjang, Izy pun mengikuti ke mana Galen melangkah. Sesekali Galen menoleh ke belakang untuk mengecek Izy tidak menggelinding lagi.

Izy tidak tahu ada yang Galen sembunyikan darinya. Sesuatu yang mungkin bisa membuat Izy ketakutan.

Tidak pernah ada lampu-lampu kecil di kebun itu seperti cerita Izy.

***

Drop ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang