-Enam Belas

22 7 0
                                    

Terkadang agak sulit mengetahui kenyataan kalau tidak bertatap muka
.

"Dia menguping pemikiranku,"katanya sebagai awal pembicaraan panjangnya.

"Dan dengan kasar dia langsung menolakku mengatakan kalau dia sudah menyukai seseorang." Esme melanjutkan lagi.

"Siapa itu!? Apa temannya di Kingshill? Kenapa ia tidak cerita apapun pada aku teman dekatnya?" Air matanya mulai berlinang.

"Kupikir, aku dan Harvey sudah lebih dari teman. Tapi nyatanya hanya teman biasa!"

Esme mulai merengek dan menutupi wajahnya setelah mengomel seperti itu. "Aku bahkan sudah mengurangi kata-kata kasarku demi dirinya. Dasar cicak kejepit!"

Ya cukup kuakui, akhir-akhir ini umpatan-umpatan Esme sudah jauh berkurang daripada sebelumnya. Mungkin karena kami sedang bertumbuh, dia cepat bisa merubah sifat buruknya. Namun, alasan berubahnya sedikit kurang masuk akal. Namun, aku diam saja agar tidak menyakiti Esme.

"Katakan sesuatu! Apa yang kau sembunyikan!" serunya yang cukup sensitif.
Aku tidak berbicara apapun hanya berlangsung memeluknya, begitu pula Lyona memelukku dan Esme.

"Kau ingin bertemu dengannya?" Lyona bertanya dan dibalas dengan cepat oleh Esme sebuah persetujuan.

"Kalau begitu temui saja. Setelah itu apa yang akan kau lakukan? Apa perasaannya akan berubah?"

Ucapan Lyona tepat sasaran. Menemuinya atau menangis histeris seperti ini pun tidak ada gunanya juga. Perasaannya tidak akan semudah itu berubah.

"Setelah dia berkata demikian. Apa yang kau lakukan?" Akhirnya aku buka suara dengan menanyainya hal dasar yang terlewat kalau seseorang sedang emosi. Aku pernah melakukan ini pada Tina yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan apapun saat emosi.

"Aku langsung menutup telepon."

"Dia tidak berbicara apapun?" tanyaku memastikan.

Esme terdiam.

"Dia berbicara sesuatu tetapi aku tidak mendengarkan. Saat itu simpul suaranya terlihat berwarna...."

"Berwarna apa?" tanyaku ketika Esme menjeda. Ia bergeming, tetapi tiba-tiba raut mukanya berganti warna menjadi semerah flamingo.

"Aku harus menemuinya sekarang," kata Esme yang beranjak bangun dari piknik santai di karpet kamar kami. Ia bergegas mengambil baju dan memasukkannya ke koper.

"Esme, tenanglah. Kau bisa menemuinya Jum'at malam. Kau tidak akan diijinkan pulang saat ini," kataku menenangkan Esme. Lyona setuju dengan apa yang kukatakan. Ini masih hari Kamis dan sekolah baru akan libur saat hari Sabtu.

"Jadi, aku harus menunggu? Ba-bagaimana kalau dia lupa apa yang akan dia bicarakan?"

Esme mulai terlihat depresi lagi setelah suasananya cukup membaik tadi. Aku tahu tetapi memang hanya itu yang bisa dilakukan.

"Kau akan pulang naik apa? Taksi? Kau tahu itu mahal sekali. Hampir 30 euro."

Esme manggut-manggut.

"Aku tahu aku juga tidak bisa menelpon Dad dan Mom. Mereka pasti sibuk di peternakan."

Itu benar, ayah dan ibu Esme lah yang mengelola sendiri peternakan ikan troutnya. Tidak hanya mengelola peternakan mereka juga mengelola kafe kecil dan tempat oleh-oleh kecil. Hal ini membuat Esme tidak mungkin bisa dijemput ke sini.

"Akan kutelpon ayahku untuk menjemputmu. Kalau ayahku dari London bisa kupinta mampir sebentar ke sini untuk menjemputmu. Kalau kau ditanyai, beralasan saja kalau kau sedang homesick," kataku meyakinkan Esme.

{END} Look Before You LeapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang