-Sepuluh

57 11 6
                                    

Terkadang dunia tidak melulu berisi manusia, dan makhluk abstrak

.

Rosanna mendatangiku yang tengah mengobrol dengan Esme kala kami sedang berjalan di koridor kelas menuju ruang musik untuk pelajaran selanjutnya.

"Untuk apa pertanyaanmu tadi? Kau berniat menjadi korban?" dia tiba-tiba menyerobot di tengah dengan wajah yang khawatir setengah mati.

"Untuk memastikan sendiri apa rumor itu benar," kilahku.

Rosanna terlihat agak marah. "Jadi, kau berkata bahwa yang kukatakan adalah bohong. Kau kan sudah tahu sendiri betapa berisiknya anak dari lantai-"

"Isla percaya padamu dan yakin padamu demi semulus dan selembut pantat bayi yang baru lahir." Esme memotong pembicaraan Rosanna dan ia menarik tangan Rosanna meyakinkannya sembari terus berjalan di ruang musik yang sudah dekat.

"Tapi ia hanya penasaran, betulkan Isla?" tambahnya yang kubalas dengan anggukan sangat setuju.

Esme memang sangat ahli bicara. Jadi dalam beberapa hal kadang aku menyerahkannya untuk menjelaskan. Sama seperti Harvey, kupikir terkadang Esme mampu membaca pikiranku.

Rosanna percaya apa yang Esme katakan dan melepaskan kami di depan pintu ruang musik. Ia tidak masuk mengikuti kami karena ia terlihat pergi menuju gedung olahraga, berdasarkan kelas yang ia pilih hari itu. Untungnya saat kami memasuki kelas guru yang mengajar kami belum datang, tetapi kursi depan yang memutari podium tengah sudah penuh. Ini membuatku dan Esme terpaksa duduk di belakang. Nyatanya ini tidak membuat kami sedih, karena kami bertemu dengan teman kamar kami, Lyona.

Barangkali seperti sudah berpisah sepuluh tahun lebih, Esme dan Lyona berpelukan di kelas seperti ini. Aku tidak menyangka Esme bisa menemukan teman secocok ini dalam waktu beberapa jam kemarin.

"Jadi, mengapa kau bisa sekompak ini dengan Lyona dalam hitungan jam?" tanyaku berbisik saat guru sudah datang dan tengah mengajarkan kami membaca partitur dasar. Mister Nicole. Guru muda berkacamata yang sangat ramah pada kami.

"Ah, dia hanya gadis biasa yang berbeda."

Kemudian aku jadi teringat obrolan singkatku dengan Harvey kala di suatu hari yang dingin dan Esme sedang flu. Harvey menyajikanku cokelat panas dan menceritakan sesuatu tentang Esme, yang tidak pernah bisa ia ceritakan padaku pada akhirnya. Ini karena aku memikirkan kejadian saat aku mulai sekolah di sana saat itu. Esme dihindari teman-teman lain.

Katanya saat Esme masih terlalu polos, sifat banyak bicaranya membongkar dirinya yang bisa melihat semua hal berdasarkan pola. Dan ia mengatai teman yang tak menyukainya dengan pola abstrak seperti simpul yang tak pernah lepas dengan warna gelap yang jelek. Sejak saat itu, Esme dijauhi barangkali juga menerima penindasan dari teman-temannya.

Mendengar kata berbeda yang tak kumengerti barusan ini kucoba kutelan bulat-bulat jadi kupaksakan untuk tersenyum dan kembali fokus mendengarkan Tuan Nicole.

Tahu-tahu, jam sekolah sudah usai dan kami semua kembali ke asrama. Tidak kembali ke kamar langsung adalah pilihanku. Aku tidak mengerti mengapa aku sedikit tidak ingin pulang ke kamar terlebih dahulu. Esme menggandeng tangan Lyona saat mereka hendak masuk ke kamar kami, tetapi aku berjalan lurus dan hendak naik ke lantai atas. Sempat aku mendengar panggilan dari Esme tetapi aku tidak sempat menoleh karena ada hal yang membuatku kaget.

Ada tiga orang gadis yang tengah ragu untuk masuk kamar--kata salah satu dari mereka, di kamar itu terjadi kejadian kemarin--dan seorang laki-laki yang tengah mengamati mereka beberapa langkah jauhnya. Tunggu, laki-laki di asrama wanita? Kucoba memastikan penglihatanku lagi. Tidak mungkin itu manusia. Apa makhluk mitologi? Apa makhluk yang memiliki dendam kesumat?

{END} Look Before You LeapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang