Pojok Daisy

16 3 0
                                    

Ayah dan Ibu bertengkar lagi di depan meja resepsionis. Suasana jadi sungguh tidak nyaman. Beberapa tamu yang lewat jadi terbirit-birit untuk segera keluar dari hotel ini atau pun batal menjadi tamu.

Aku yang menyaksikan itu dari balik tembok--hendak mengajak mereka makan pagi, memilih kembali ke lantai atas, masuk ke kamar dan membaca buku.

"Nona, waktunya makan."

Itu suara Nyonya Alpeby di depan pintu. Aku bangkit dengan senang dan membukakan pintu lalu terpikir mengajaknya makan bersama alih alih ia yang mengantarkanku makan. Aku pun menggandeng tangannya untuk pergi ke ruang makan yang dipenuhi dengan turis yang sedang sarapan pagi. Aku menyuap telur mata sapi ke mulut yang jadi menuku pagi ini. Namun, batal ketika tiba-tiba ibu datang ke mejaku lalu menuangkan air minum ke kepalaku.

"Dasar bajingan cilik, kau malah sedang enak makan di sini!"

Teriakan Ibu menggema di ruangan besar ini, semua orang jadi menghentikan aktivitasnya untuk menatap kami. Bibi Alpeby bangkit mencoba menenangkan Ibu. Namun, Ibu malah menamparnya dan mengatakan kalau dirinya juga perempuan jalang yang merebut suaminya bahkan aku. Aku tentu tidak terima dan menarik tangan Ibu karena justru ia yang menelantarkanku. Namun, Ibu malah mendorongku hingga aku terjatuh dan menggulingkan meja kecil tempat aku dan Bibi Alpeby makan.

"Dasar!"
Ibu kemudian pergi begitu saja ketika melihatku bangun kepayahan. Rupanya ada sesuatu merembes dari rambutku, dan aku menyentuhnya lalu melihat warna merah di sana. Aku tidak tahu Ibu yang sengaja meninggalkan kami karena perlakuannya barusan atau tidak, karena aku langsung merasa kepalaku berdenyut lebih keras dari rasa benturan tadi dan semuanya menggelap.

Ketika aku terbangun ada Nyonya Alpeby di sampingku dengan wajah sangat khawatir melebihi siapa pun yang harusnya berikatan darah denganku. Aku senang sekaligus sedih.

"Di mana mereka?"

Bibi Albeby mengerti mengenai siapa yang kutanyakan ini. Dia menjawab singkat kalau mereka berdua pergi sedari pagi, tidak tahu ke mana.

Setelah itu Nyonya Alpeby menanyai balik mengenai kondisiku, dan kukatakan tidak ada masalah. Ia juga sudah menyiapkan obat pereda nyeri dan akan membawakan bubur yang ia minta khusus dari koki yang memasak. Nyonya Alpeby juga mengajakku pergi ke dokter untuk memeriksa kepalaku kalau kalau kondisinya buruk, tetapi aku menolak dan berterimakasih yang kemudian dijawab dengan izin pamit pergi untuk mengambil bubur sambil gundah.

Kupandangi langit-langit kamarku yang krem dan memikirkan mereka berdua, kedua orangtuaku. Kepalaku yang diperban ini tidak membuatku berhenti memikirkan mereka yang sudah seperti ini sejak aku baru bisa jalan dulu. Aku masih ingat betul. Untung saja ada Nyonya Alpeby, yang menyayangiku lebih dari ayah dan ibuku sendiri. Mungkin saja tanpanya aku sudah hancur karena tidak mengerti apa yang seharusnya normal di keluarga ini.

Umurku baru 6 tahun saat semua mulai lebih aneh. Ada seseorang dari kelas oak yang tidak bisa datang sejak hari pertama sekolah. Banyak yang bilang kalau dia penyihir karena dia terkena penyakit aneh. Aku tidak memerdulikan itu. Namun, yang kupedulikan adalah ayah dan ibu yang melakukan hal gila. Ibu yang membuka paksa semua pintu kamar hotel mencari ayah yang bersembunyi bersama seorang wanita di suatu kamar. Ayah juga menyalahkan penyihir seumuranku yang membuat ibu percaya ayah kena kutukan untuk mudah terpikat pada wanita sembarangan. Aku tidak tahu asal asumsi tersebut, hanya saja keuangan keluarga ini juga jadi merosot karena rumor desa dan Nyonya Alpeby terpaksa memecat beberapa karyawan dan menggantikan pekerjaannya.

Asumsi gila kedua orangtuaku membuatku terpaksa setengah mempercayai untuk menemui seseorang yang katanya penyihir. Namun ketika aku mengunjunginya, lebih tepat kalau disebut, ia sendiri yang dikutuk penyihir. Bukan sosok penyihir yang memberi kutukan ke orang sekitarnya dan itu membuatku malu hingga menangis. Aku gemetaran ingin meminta maaf kalau kalau berharap ia betulan penyihir dan ketika ia pergi semua masalah di keluargaku juga beres. Namun, itu tidak berani kuutarakan karena terlalu konyol.

Sangat konyol memang, tetapi ketika aku mengingatnya aku baru 6 tahun saat itu dan aku juga tahu sejak dini tidak ada yang harmonis di keluargaku.

Saat datang bulan pertamaku tiba, itu ketika aku masih di kelas akhir primary school, kelas acorn. Aku merasa dunia telah menjadi lebih gila lagi. Kesialan beruntun terus mendatangiku sampai sampai aku pernah hampir meregang nyawa bila tidak diselamatkan Bibi Alpeby.

Semua sedikit berubah, ketika satu-satunya temanku mengenalkanku pada temannya saat kami usai dari gereja di hari minggu dan tengah bersantai di sekolah gereja. Aku mengenalinya, dia adalah gadis menyedihkan yang kutangisi saat berusia enam tahun. Namun, kini dia terlihat sehat seperti tidak pernah buta dan tuli. Dia Isla.

"Isla, ini Daisy yang ingin kuperkenalkan padamu kemarin. Daisy, ini Isla teman yang ingin kuajak kemarin."

Esme menunjuk Isla dan aku secara bergantian. Lalu Isla tersenyum kepadaku dan menawarkan tangannya padaku. Namun, aku terdiam sembari menatap tangannya.

Apakah aku akan terkena kutukan penyihir ketika menjabatnya? Kesembuhannya ini tidak masuk akal. Meski aku sudah tahu rumor itu, ini sangat aneh.

"Kau anak yang buta dan tuli dalam sekejap itu?" tanyaku untuk memastikan sekali lagi apakah aku perlu menjabat tangannya.

Isla menarik tangannya dengan gugup dan membenarkan pertanyaanku. Ia mulai gemetaran ketika kutatap dari atas ke bawah. Suasana sangat canggung dan aku mengerti. Tidak seperti teman bodohku, Esme yang malah cengar-cengir tidak jelas. Harusnya ia peka pada situasi ini, aku mengenalnya betul kalau apa yang dilihatnya selalu tentang kenyataan. Namun, ia malah cengar-cengir menatap Isla dan aku bergantian.

Aku tidak tahu apa yang dilihatnya, tetapi dari pandanganku kenyataan yang dia lihat tidak seperti yang aku lihat. Isla tidak nyaman dengan keberadaanku. Jadi aku pamit pergi.

Jalanan dari sekolah gereja menuju desa memang sangat sepi karena merupakan jalanan menanjak di ujung desa. Memangnya siapa sih yang ingin bermain di sekolah dasar yang tidak memiliki apa-apa ini. hanya lapangan luas dan bangunan tidak bertingkar yang terdiri dari dua kelas. Kelas Oak dan Acorn. Namun, sesuatu menarik perhatianku ketika menuruni jalanan. Sebuah bunga unik mekar di selokan air. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Bunga itu mirip bunga krisan tetapi petalnya berbentuk hati dengan penuh duri di ujung bunga yang tengahnya kuncup dan pula batangnya.

Aku ingin menyentuhnya tetapi batal takut kalau itu bunga langka liar yang dilindungi, jadi aku bangun dari tempatku berjongkok dan berbalik. Namun, sepertinya kesialan selalu mengikutiku. Kaki kananku terpelosok ke parit. Aku mencoba menariknya tetapi tidak bisa dan ada sesuatu yang bergeliat menyentuh kulit kakiku dan menyakitkan hingga perih.

"Kyaaa!"

Aku berteriak karena sesuatu itu seperti menusuk nusuk kakiku. Bunga unik dan indah di selokan ini tiba-tiba juga menghilang. Ini sungguh aneh. Terlebih ketika aku menarik kakiku. Tusukan sesuatu itu di kakiku makin dalam dan makin ngilu.

"Da-daisy!?" sepertinya ia mendengar teriakanku sehingga bergegas kemari dan terlihat kaget dengan kakiku yang satunya terjerembap ke selokan.

"Ka-kakiku, ada yang mengikatnya di balik batu. Aku ti-tidak tahu ada apa di sana. To-tolong," kataku memohon padanya.

Isla mendekati batu yang menimpa kakiku dan terlihat berniat akan menolongku. Namun, tiba-tiba ia berhenti. Aku tidak tahu apa yang menghentikannya.

"A-aku harus menolongnya. Kumohon. Kasihan dia," katanya yang membuat sesuatu mencelus di hatiku. Sepertinya Isla tengah berbicara dengan sesuatu di pundaknya. Aku tidak berkutik ketika dia meninggalkanku dan Esme yang berhasil menyusulnya mendekatiku. Esme kelabakan berusaha menarikku tetapi aku makin menjerit kesakitan.

Isla datang membawa seorang pria dewasa dengan gergaji yang kemudian membantuku melepaskan lilitan tanaman aneh di kakiku.

Hanya saja, hari itu aku merasa aku mulai berubah karena mengerti sesuatu.

1202 kata
Tunggu next part yaa ^^
//Tidak menyangka kalau bakal sepanjang ini

{END} Look Before You LeapOù les histoires vivent. Découvrez maintenant