-Dua Puluh Tujuh

21 3 0
                                    

Terkadang hidup akan terus berjalan dan terasa tidak adil bagi yang terjebak di waktu
.

Sore itu aku menyelinap pergi dari rumah, beralasan aku ingin menemui nenek Esme karena tiba-tiba aku merindukannya. Sebenarnya alasannya tentu saja bukan karena itu. Ini adalah hari ke-28. Besok adalah hari itu dan aku perlu memastikannya pada Xi. Apakah portal sudah muncul.

Aku mencari Xi di sepanjang sungai dan bunga kesukaannya yang masih belum mekar. Kurang lebih sampai langit hampir tenggelam aku baru menemukannya di kebun nenek Esme. Jika tahu seperti ini aku tetap berkunjung ke nenek Esme tanpa perlu mengitari desa terlebih dahulu.

"Xi, kau sudah menemukannya?" tanyaku berjongkok padanya, yang tengah masuk ke nektar dalam bunga angin atau anemon ini. Bunga itu bergoyang-goyang seperti terkena angin padahal itu karena ada Xi di sana. Bunga ini bunga pemberian Xi pertamakali padaku.

"Portal? Xi sudah menemukannya kawan, xi." Xi masih saja meringsek-ringsek masuk ke dalam cekungan bunga. "Tunggu sebentar, xi," katanya lagi.

Setelah itu Xi keluar dari sana dengan debu debu kuning yang menempel bajunya--katanya itu serbuk sari--dan kemudian melompat ke rambutku.

"Bunga itu cacat kawan, aku perlu membantunya kawin, xi."

Aku mengangguk-angguk mengerti penjelasannya dan Xi kemudian mengajakku pergi menemui anak buahnya. Aku tahu siapa yang ia maksud. Awalnya aku berniat menghindarinya karena setelah aku membantunya, semua akan beres dan selesai. Namun, aku tidak menyangka kalau prosesnya perlu bertemu dengannya dan mengingat beberapa momen yang membuatku terbawa perasaan dan menyukainya.

Andai aku bisa membantu tanpa bertemu dengannya. Jujur saja aku cukup malu. Menyukai seseorang yang ternyata adalah guruku. Terlebih, dia juga sudah punya tunangan.

Aku bisa mengetahui itu semua berkat surel yang kukirim ke salah satu teman kelasnya kapan dulu. Surel itu kemudian mengarahkanku pada sebuah alamat surel milik seorang wanita bernama Michelle, 26 tahun, seumuran dengan Tom.

Wanita itu kuhubungi dan aku mendapatkan beberapa informasi mengenai Tom dengan mengaku sebagai muridnya yang ingin mengembalikan beberapa barang Tom yang ketinggalan di rumah--aku tidak berbohong memang betulan aku adalah muridnya dan ada bukunya yang berada di rumah meski sebenarnya itu pemberiannya.

Tom koma sejak dua tahun lalu, waktu yang persis kemunculan dengan Ash. Hal ini kemudian membuatku berkesimpulan bahwa Ash adalah jiwa Tom. Walau aku tidak mengerti mengapa umur jiwanya menyusut--meski aku kini sudah tahu jelas siapa orang yang dicarinya.

Dan itu membuat dadaku sesak sekali lagi. Aku tertipu dengan imajinasiku sendiri. Berharap Ash seseorang yang kukenal atau barangkali pangeran dari dunia lain yang kemudian dengan suatu cara dapat menjadi manusia betulan. Terlalu kekanakan memang tetapi itu adalah harapanku padanya.

"Di sana, Xi."

Xi menyuruhku berhenti dengan menarik anak rambutku lalu turun dari sana dan menunjuk pada di bawah jembatan hotel The Swan.

"Aku menyuruhnya berjaga dekat portal, xi."

"Sudah terbuka?" tanyaku yang kemudian dijawab Xi sejak awal portal memang tidak pernah tertutup hanya saja ukurannya yang menentukan apakah sudah bisa dilihat oleh manusia biasa atau belum.

Dengan hati-hati aku menuruni tanah yang melandai dan masuk ke bawah jembatan. Air yang mengalir hanya semata kaki dan lumpur langsung membenamkan sedikit kakiku di bawahnya.

Aku melihat Ash berdiri di pinggir lorong bawah jembatan, membelakangi dan terus diam memandang sebuah pusaran cahaya cukup besar di sana. Tidak seperti yang kulihat dulu sekali yang berbentuk seperti bola, kini ukurannya ini menyamaiku.

{END} Look Before You LeapWhere stories live. Discover now