-Empat

80 20 6
                                    

Aku, Isla Marshall, tahu adikku tidak menyukaiku dan ingin aku mati saja

.

"A-apa yang kau maksud Tina? Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku dapat sembuh dalan semalam?"
Aku mengarahkan badanku menjauhi tembok sungai, bergerak ke sembarang arah agar Tina tidak curiga.

"Tadi tingkahmu terlihat demikian. Lagipula katanya dulu kau juga mengalami kebutaan serta ketulian dalam semalam. Lagipula bisa jadi kan."

Dia meraih tanganku dan merapatkannya ke badannya yang hangat. Ini membuatku kaget.

"Kau tahu, dulu kupikir kau itu menakutkan seperti buku-buku dongeng di kamarmu. Namun, kupikir ... Kenyataannya kau hanya sangat menyedihkan dan menyebalkan saja."

Aku sedikit terharu dengan Tina yang merapatkan tubuhku kepadanya, dan menuntunku.

"Aku tidak peduli kalau kau memang dikutuk penyihir atau bagaimana. Asal kau tiba-tiba bisa sembuh, dan tak lagi membuat ibu terus menangisimu. Aku akan memaafkanmu."

Aku tertawa kecil. "Jadi selama ini kau marah padaku? Bukannya takut?"

Tina mengelak, wajahnya pun terlihat memerah. Kupikir jawabannya tentu dua hal tersebut. Aku tahu ia marah padaku karena merebut perhatian Ibu dan takut kepadaku kalau-kalau aku memang dikutuk. Persis seperti pemikiran fantasiku pada usianya.

"Ah tunggu, tadi kau bilang, kau membaca buku dongeng di kamarku? Kapan itu?"

Aku menatap sembarang arah lekat-lekat walau aku tahu Tina di sampingku.

"Sudahlah. Nyonya Stanley tidak akan suka kita terlambat di kelasnya."

Tina menarikku lebih cepat. Aku hanya tersenyum kecil sembari mengikuti arahannya.

Gadis kecil berambut bob yang menggandengku ini, bagaimana pun juga, aku menyayanginya.

***

Tatkala kami tiba di rumah, Ibu memasang muka khawatir kepadaku. Alih-alih bukan karena aku nakal melainkan permintaanku yang aneh pagi ini. Sampai-sampai, Ibu menanyaiku memimpikan apa semalam mengenai Esme, mungkin ia menebak aku memimpikan Esme kejadian buruk sehingga membuatku ngotot pergi ke Esme sekali pun mungkin Ibu telah memberitahuku--tapi aku tidak mendengarkan--kalau Esme hari ini pergi ke sekolah.

Nyonya Stanley sudah menunggu di kamar Tina, aku akan mendapatkan jatah pembelajaran setelah Tina. Nyonya Stanley, wanita kurus berpakaian rapi itu, sebenarnya adalah guru homeschooling Tina, sedangkan guruku adalah Tom. Namun, karena Tom sebulan ini menghilang tidak ada kabar. Jadi, untuk sementara waktu Nyonya Stanley mengajariku juga. Sekalipun ia tidak terlalu mahir membaca dan menulis huruf Braille, dia mengajariku dengan suaranya. Terimakasih atas bantuan alat pendengaranku saat itu.

Mengingat Nyonya Stanley yang tidak terlalu lancar huruf braille membuatku sedih, karena pembelajarannya tidak terlalu menyenangkan. Aku hanya mendengarkan dan sesekali menyahut apa yang ditanyakan Nyonya Stanley. Seperti bagaimana terbentuknya hujan. Bila saja ada Tom, ia akan membawakan buku dongeng mengenai hujan dan akan menceritakannya kepadaku sembari sesekali menyuruhku membaca buku dongeng bertulis huruf braille itu. Kurasa itu akan sangat menyenangkan.

Aku sangat rindu pada Tom, aku ingin segera bertemu dengannya dan memintanya membantuku menemukan mata serta telingaku saat ini. Yah, meskipun sepertinya itu tidak mungkin karena Tom tidak bisa dihubungi. Namun, setidaknya ia akan menyemangatiku untuk tidak boleh putus asa.

Sembari sedikit mengantuk dibalik kacamata hitamku, aku menyadari kalau jam pelajaranku sudah akan habis dari jam di tanganku. Kebiasaan Nyonya Stanley yang selalu berkemas lima menit lebih awal dari jam pembelajaran membuatku bersemangat. Segera aku merapatkan alat bantu dengar--yang kumatikan--yang seakan mau jatuh lalu berdiri dari karpet lembut tempatku duduk, pura-pura mengambil tongkat dan beranjak pergi. Nyonya Stanley menanyaiku ke mana aku akan pergi dan mengapa aku sangat bersemangat. Namun, aku tidak menggubrisnya karena aku harus segera bertemu Esme dan menceritakan tentang mataku yang bisa melihat dirinya sekarang.

{END} Look Before You LeapWhere stories live. Discover now