-Tujuh

59 14 0
                                    

Terkadang dunia memang benar-benar tidak adil

.

"Ha-halo," kataku mencoba menyapanya.

Ia memiringkan kepalanya mengikutiku yang mencoba mendekati karena saking kecilnya.

"Hai? xi." dia terlihat ragu-ragu menjawab, seperti bingung harus menjawab apa.

"Kau bisa berbicara?" tanyaku sembari mengadahkan tanganku memintanya naik di atasnya agar aku bisa melihatnya lebih jelas selain topi hijaunya dan pakaiannya yang serba hijau. Barangkali untuk memastikan pula apakah aku berhalusinasi atau tidak.

"Xi bisa berbicara kok, xi." katanya seperti menyebutkan seseorang.

"Kau Xi?"

Dia mengangguk lalu menaiki telapak tanganku. "Xi penjaga desa ini, xi."

Aku masih tidak memahami mengapa ia menjelaskan seseorang yang bernama xi padahal aku bertanya padanya.

"Xi adalah pixie yang diutus dari kerajaan yang tempatnya kalian sebut Devon, xi."

Aku mengangguk, masih tidak mengerti. Lalu mencoba menanyakan mengenai Xi.

"Apakah Xi yang membawakan bunga-bunga ini?"

Dia kembali mengangguk dan berkata dengan semangat—suaranya dapat kudengar lebih jelas lagi. "Xi berharap lebih padamu. Ini berkat kau telah menjaga bunga kesukaan Xi di dekat sungai, xi."

Aku jadi teringat bunga jenggot jupiter yang tidak kuinjak karena aku juga menyukainya. Jadi setelah itu, aku berbincang-bincang dengannya lebih banyak lagi. Perbincangan itu membuat aku mengetahui, kalau dia xi itu sendiri, dia bisa menciptakan bunga dari tangannya yang sekecil itu, dan dia yang bertugas menjaga alam dan berkoordinasi dengan peri untuk cuaca di desa ini. Aku masih tidak menyangka apa benar ini nyata atau tidak. Terlebih membahas mengenai peri, pixie, dan banyak hal lagi di mana mereka itu makhluk mitologi. Barangkali ini mungkin hadiah yang diberikan oleh roh kehidupan kepadaku. Aku tidak tahu apa aku harus senang atau tidak dengan pemberiannya ini.

Saat itu akhirnya sudah cukup siang, Ayah akhirnya pulang dan memelukku karena saking gembiranya. Ibu tidak ada di sampingnya karena ia ada tugas mendadak untuk membantu pub yang kebetulan sedang disewa untuk acara makan siang pernikahan seseorang dari luar desa. Kebetulan ia mengadakan resepsi di desa ini. Tina juga di sampingnya. Kali ini aku yang sudah tidak lagi pura-pura buta menanyainya karena wajahnya masam.

Kebetulan pula, tinggal aku berdua dengan Tina atau barangkali sosok pixie yang kini bermain di pundakku juga dihitung. Jadi ada tiga--tetapi kusadari Jennie tidak melihat sosok ketiga ini. Ayah ada panggilan mendadak dari telepon genggamnya dan Tina membawakanku makan siangku.

"Kau tidak senang aku sembuh?" tanyaku yang membuat Tina menatap datar.

"Kau sudah tahu jawabannya," katanya sembari meletakkan nampan makanku di nakas kamar.

Aku tidak mempermasalahkan apapun termasuk caranya yang kasar, membanting nampan hingga kuah supku sedikit tumpah.

Kuambil makananku dan mulai makan seperti biasa, hingga Xi tiba-tiba meluncur dari tanganku, menyentuhkan tangannya ke dalam kuah supku yang berisi sayur. Aku jadi jijik jujur saja. Namun, Xi mengatakan sayur yang kumakan sebenarnya agak kurang segar dan sedikit sakit saat dimasak. Jadi, dia membuatnya lebih baik. Aku tidak mengerti apakah ini baik atau buruk. Namun, mengingat daun ivy beracun yang kudapat di mimpi walau aku yakin bukan daun ivy, kupercaya itu artinya baik.

Kugigit kubis dari stew yang kumakan, dan meminum sedikit kuahnya yang berminyak. Rasa gurihnya kuah dan segarnya sayur berada di mulutku. Rupanya benar, sayurnya seolah jadi lebih segar dan manis daripada yang terlihat. Lalu aku pun menghabiskannya.

{END} Look Before You LeapWhere stories live. Discover now