-Dua Puluh Lima

24 4 0
                                    

Terkadang kita hanyalah makhluk fana yang merasa paling hebat sejagad raya
.

"Bukan aku yang jahat, tetapi kau sendiri," kata penatu tua yang berjalan mendekatiku di kegelapan. Meski demikian sorotan cahaya tidak menenggelamkan kami. Mengetahui ia yang berjalan menakutkan padaku, aku beranjak mundur.

"Ba-bagaimana mungkin?"

Sampai pada titik aku tidak bisa bergerak lagi karena aku merasa tertahan sesuatu yang gelap dari arah kaki. Lalu penatu tua itu berhasil menggapai bahuku dan menaruh salah satu tangannya di bahu kiri. "Kau sendiri yang melakukannya bagaimana kau pura-pura tidak tahu? Padahal aku sudah memberitahu."

Mataku melebar mendengarkan ucapannya. Ingatanku menerawang pada mimpi menakutkan yang seolah terjadi kemarin dengan lebih jelas dan lebih detail lagi. Perihal Daisy yang muntah air terus-terusan berlanjut dengan seluruh organnya yang ikut keluar menjadi serpihan-serpihan lunak di lantai gelap dengan lampu sorot yang memperlihatkan itu semua. Tidak lupa sebuah suara yang menggema di akhir, "Jimat terbaik adalah seseorang yang mengetahuinya."

Aku terhuyung begitu saja mengingat kejadian mimpi itu secara lengkap. Mimpi yang kuingat itu terasa sangat dekat dan sangat jelas seolah baru saja terjadi.

"Kau memilih untuk melupakannya," kata penatu tua itu lagi yang membuatku benar-benar tersadar dengan apa yang ada di depanku, mengingatkan kalau mimpi yang kuingat bukanlah saat ini.

"Ta-tapi jimat itu berhasil membuat hantu pendendam pada Daisy pergi dan membuat si Jennie tidak bisa mendekati Daisy lagi."

"Ya, aku memang memberikannya karena kasihan. Namun, aku juga sudah memperingatkanmu kan? Jimat terbaik adalah seseorang yang mengetahuinya." Dia memegang daguku sebentar untuk membuatku menatap matanya yang putih tanpa warna lensa mata. Itu mengerikan.

Setelah itu si penatua tua mulai berjalan mengelilingiku dengan perlahan. "Dan aku tahu kau sengaja melupakannya."

Dia mengulang pernyataan yang membuatku ingin membantahnya lagi dan lagi. "Saat bangun aku tidak mengingatnya-"

Nenek penatu itu memotongku, "kau yang memilih melupakannya." Ia lalu berhenti berputar dan membelakangi punggungku.

Aku terdiam. Tidak berkutik. Beku. Apa memang bisa aku memilih untuk tidak mengingat mimpi?

"Kau hanya peduli pada dirimu sendiri." Dia berjalan kembali menjauhiku.

Aku mengelak, "tidak, aku memedulikannya. Beberapa kali aku mencegah ia dijahili." aku berbalik arah dan menatap punggungnya lalu berusaha mendekatinya tetapi ia terasa makin jauh.

"Kalau begitu sebutkan alasanmu untuk peduli pada makhluk yang tidak diterima di mana pun itu?"

"Da-daisy ... Dia orang penting bagiku, tetanggaku, orang yang menangisiku selain keluargaku pertama kali, dan aku merasa dia memerlukanku. Aku kasihan padanya."

Aku teringat momen seseorang yang berkenalan padaku dan menangis saat kelas Oak pertama kali mengunjungiku, lalu juga kejadian-kejadian buruk yang mengikutinya.

"Seorang manusia fana, kasihan pada sesamanya? Pembual. Kasihan adalah wujud dari perasaan lebih tinggi dari sesamanya. Merasa lebih baik dalam hal apapun."

Dia berhenti melangkah dan berbalik menatapku.

"Dan itu semua bagian dari sifatmu yang hanya peduli pada dirimu sendiri. Jika kau benar-benar peduli pada orang lain, kau tidak akan benar-benar meninggalkan mereka dalam hal apapun," katanya lagi.

Lidahku kelu. Aku tidak tahu harus berkata apalagi. "Aku. Aku tidak tahu kalau aku seperti itu. Aku hanya merasa ... aku sudah melakukan semua yang kubisa. Jadi aku mohon maafkan aku. Maafkan aku." Aku mulai menangis dan jatuh bertekuk lutut. Aku sudah tidak tahan lagi.

{END} Look Before You LeapWhere stories live. Discover now