10. Teman?

13 2 0
                                    

"... Baiklah," ucapnya dengan suara pelan.

Azalea menatap kedua laki-laki itu selama beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya ke arah dapur kecil satu-satunya di rumah ini. Dia tidak tahu alasannya berbuat aneh begini, tapi dia merasa harus.

Dia melangkahkan kakinya seraya memunculkan beberapa pertanyaan acak yang membuatnya tersesat dalam gundukan pertanyaan.

Tunggu, kenapa aku melakukan hal ini?

Beberapa menit lalu dia mulai mempertanyakan alasan dia melakukan sesuatu, apapun itu. Seolah hal semacam itu adalah perlu.

Dia bingung.

Dirinya tidak tahu kenapa dia tidak tahu.

Aneh, tapi realitanya begitu.

Dia sadar bahwa personalitasnya berubah. Penyebabnya dia tidak tahu apa, tapi dia merasakannya. Mungkin Mati? Tapi apa yang Mati dapat lakukan sampai-sampai kepribadiannya berubah begini?

Dia bingung.

"Aneh."

***

"Bagaimana? Lezat?" tanya gadis bernetra merah itu, penasaran.

Menyadari seseorang tengah berbicara ke arahnya, lamunan Azalea pecah. Ragu-ragu ditatapnya mata merah sosok cantik di sebelahnya ini.

"Ah ya, lezat."

Senyuman sosok bermata merah itu melebar. Hatinya merekah begitu saja. Diam-diam Azalea bersyukur bahwa sosok di sebelahnya ini tidak masalah dengan sikap diamnya yang penyebabnya tidak diketahui itu. Kalau dia ... mungkin akan sakit hati jika berada di posisinya.

"Baik, makanan siap," ujarnya senang. Kedua tangannya di satukan di dekat wajah cantiknya. "Oh, ya, Lea, bisa tolong panggilkan dua 'teman dekat' itu?"

Teman dekat?

Lea—?

"Lea?" tanyanya cepat, selepas mendengar nama panggilan itu disebut teman barunya.

"Ya, Lea. Kalau kamu tidak keberatan aku memanggilmu begitu."

Jujur saja, Azalea keberatan.

Tapi dia bisa apa? Menyakiti hati rapuh sosok ini?

Oh tentu dia tidak mau.

"... Aku ... akan memanggil mereka."

Cepat-cepat dia sunggingkan senyum tipisnya, lalu beralih ke tujuan 'utama'nya, yaitu memanggil Arsa dan bocah mata merah itu.

"Makanan siap," tegasnya kepada dua sosok laki-laki itu. Dia hantamkan kepalan tangan kanannya ke dinding, tidak terlalu keras, tapi sekiranya cukup untuk didengar Arsa dan bocah mata merah di sana.

"Hei!" sahutnya.

"Aku tidak tuli," jawab mereka, kompak. Suara teriakan seperti itu lebih dari cukup untuk mereka dengar di hutan yang sunyi seperti ini.

"Dan aku tidak buta. Dengan pernyataan yang aku sebutkan tadi, aku tidak melihat kalian kembali ke dalam rumah. Sama sekali."

Terdengar decakan kecil keluar dari salah satu dari lelaki itu.

"Adikmu ini mengerikan, bocah. Lihat dia, kata-katanya tajam sekali padahal umurnya tidak lebih banyak dariku."

"Ya, kata yang berasal dari anak laki-laki yang bersikap kekanak-kanakan," balasnya pedas.

"Kalian tidak lapar?" tanya Arsa, datar. Dia melangkahkan kakinya, tanpa beban melewati dua sosok yang tengah adu mulut itu. Makan itu penting untuk kesehatan otaknya, siapa yang tahu jika dia tidak makan dia justru akan bersikap seperti Yasa dan Azalea esok nantinanti—bodoh.

Tersadar dari tujuan awalnya, Azalea mengangguk. Meninggalkan sosok bermata merah itu, sendiri. "Benar, aku lapar."

...Hah?

"Kau meninggalkanku? Sendiri di sini?" tanya Yasa, agak dramatis dalam pandangan Azalea.

"Iya."

"Ck."

"Jangan melucu," ucap Azalea tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Tatapannya terarah ke meja makan, membelakangi sosok bermata merah itu.

"...."

Sudut-sudut bibir Yasa terasa berkedut. Dia tidak tahu dia ingin tertawa atau bahkan hanya menarik ujung bibirnya. Namun dari apapun yang akan dilakukannya, dia hanya akan terus menahan kedutan di ujung bibirnya itu. Tidak membiarkan dirinya membentuk tarikan di ujung bibirnya, bahkan jika tidak ada yang melihatnya. Jika hal itu terjadi tentu dirinya akan dianggap aneh oleh siapapun yang melihatnya, dan dia sungguh-sungguh tidak mau hal semacam itu terjadi sepanjang hidupnya.

Yasa merasa ada tangan yang menggapainya. Kala pandangannya terangkat, yang dia lihat adalah wajah datar adik sosok bermata biru kehijauan itu.

"Cepat makan."

Jadi ini rasanya punya teman?

"Ada apa?" ucap Azalea, memiringkan kepalanya.

Terbangun dari lamunannya, Yasa menggeleng cepat.

"Tidak. Tidak apa-apa. Mari makan."

Punya teman ...tidak apa-apa kan?

author note:
ah um halo, aku kembali. maaf bab ini pendek karena aku gak bisa bikin bab yang gak punya konflik, haha... 🚶

Sekelam AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang