4. Manusia?

40 6 0
                                    

Arsa menatap Azalea yang baru saja dia tidurkan di kasur yang bukan miliknya. Dengan perlahan dia menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya pelan. Netra beriris cyannya menatap wajah Azalea yang masih berantakan itu sayu, namun masih tersirat sedikit kelegaan di sana.

Dia menekuk kedua kakinya, lantas membiarkan kedua lututnya jatuh menimpa lantai. Dua pertiga badannya masih berdiri dengan bagian lutut ke bawah yang berfungsi sebagai penopang.

Netra uniknya yang tadinya menatap ke arah Azalea kini berpaling pada satu-satunya jendela yang ada di kamar ini. Ukurannya cukup besar jika dibandingan dengan jendela miliknya yang memiliki jeruji sebagai penghias. Seolah berisyarat melarang orang di dalamnya kabur dari dalam maupun melarang seseorang dari luar masuk ke dalam kamarnya. Namun, dia yakin ibunya tidak benar-benar berniat mengurungnya. Jika memang jeruji itu dimaksudkan untuk tujuan tersebut, dia bisa saja menggunakan kekuatannya sebagai Arata dan menghancurkan jeruji itu dengan sekali menjentikkan jari. Yah, walaupun kemungkinan besar dia kehilangan kendali dan berakhir menghancurkan rumahnya sendiri.

"Maaf...," lirihnya dengan wajah datar yang memancarkan rasa bersalah yang samar.

Tangan kanan Azalea yang penuh luka goresan itu dia tatap dalam-dalam tanpa berani dia sentuh. Dia tersenyum kecut walau yang terlukis di wajahnya hanyalah garis yang didominasi dengan lekukan samar. Dalam hati dia tertawa pelan, melukiskan perasaan abstrak yang kini tergores dalam batinnya.

Lagi-lagi dia kabur dari masalah yang menimpanya. Lagi-lagi dia tidak bisa menahan amarah setiap kali mengingat kesalahannya di masa lampau. Padahal, selama sepuluh tahun dikurung di rumah ini, dia selalu menahan ekspresinya. Padahal, dia selalu menahan amarahnya agar satu desa tidak hancur karenanya.

"Dasar monster. Kau bukan manusia. Lebih baik kau mati saja."

Usianya masih terlalu belia untuk menanggung beban sabagai seorang Arata. Dia masih terlalu dini untuk menanggung balasan yang didapatkannya dengan terlahir sebagai Arata, yaitu kehilangan hal yang berharga dalam hidupnya. Balasan itu sudah jelas bagai kutukan bagi setiap Arata dan Earna yang hidup dalam dunia yang fana ini. Siapa pula yang mau lahir sebagai Arata dan Earna, yang memiliki kekuatan acak bagai sebuah berkah dan bisa juga menjadi kekuatan untuk menghancurkan, tapi sesuatu paling bermakna miliknya harus direnggut? Dia sudah berusaha untuk tidak mengulangi apa yang dia lakukan di masa lampau. Tapi apa yang dia dapat?

Dia mendengkus pelan. Badannya dia bungkukkan, lantas dia membenamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya, mencoba merendam seluruh pikiran negatifnya.

Ah, sudahlah.

Semua yang dia usahakan sampai detik ini memang tidak akan mengembalikan apa yang dia renggut. Dia tidak pantas diberi belas kasihan selepas apa yang dilakukannya dahulu. Dia tidak pantas mendapatkan segala hal yang telah dia renggut dari orang-orang yang bersangkutan dengan kesalahannya di masa lampau. Dia tidak pantas ... dan dia kira dia akan berpikir bahwa dia tidak pantas mendapatkannya selamanya.

Saat melihat Azalea yang tadi pagi menjelang siang mengajaknya pergi keluar dari penjara yang selama ini mengurungnya dengan senyum manis di wajahnya ... dia berpikir,

memangnya dia boleh sebahagia ini?

Kepalanya yang masih terbenam di dalam lipatan kedua tangannya itu bergerak-gerak kecil. Tidak, dia tidak pantas mendapatkannya. Yang dia lakukan terlalu kejam untuk dibalas dengan belas kasihan adiknya yang masih berumur sebulan lebih muda darinya. Sebulan dalam artian selisih umur mereka hanya terpaut satu hari, dia berada di akhir bulan, dan Azalea berada di awal bulan setelah bulan kelahiran Arsa.

Dia bergeming dalam posisi yang sama. Tanpa sadar matanya memberat. Pandangannya memudar. Kurang dari semenit, dia telah tenggelam ke dalam alam bawah sadarnya.

Sekelam AngkasaWhere stories live. Discover now