5. Kabur

31 5 0
                                    

Sosok bertubuh mungil itu mengedipkan kedua matanya polos. Tidak mengerti dengan tatapan ketakutan orang-orang yang dilemparkan padanya. Tidak mengerti dengan apa yang dibisikkan gerombolan manusia seraya sesekali meliriknya. Tidak mengerti dengan tangisan penuh pilu orang-orang yang sejak tadi didengarnya.

Bisikan tersebut terdengar lebih keras saat dia merasakan sesuatu mengalir di pipinya. Badannya bergetar pelan. Dadanya terasa amat sesak, seolah ada sesuatu yang menikam kalbunya kuat-kuat.

Dia tidak tahu.

Dia sungguh tidak mengerti.

Dia tidak tahu apa yang dikatakan kerumunan manusia ini.

Dia sungguh tidak tahu apa kesalahannya hingga tangisan pilu orang-orang terus berdengung dalam telinganya.

Dia tidak tahu,

dan setelah mengetahui segala yang terjadi saat itu--

"Aku sudah mengambil bayarannya. Nikmati hidupmu."

--dia harap dia tidak pernah tahu.

***

"Arsa, bukankah malam ini terasa lebih dingin dari biasanya?" ujar Azalea setengah berbisik seraya mengangkat sebagian rambutnya dalam genggaman tangan dalam satu titik--memosisikan dirinya untuk mengucir rambutnya.

Arsa yang masih setengah mengantuk itu hanya mengangguk samar, membenarkan ucapan adiknya itu. Dia mengacak-acak rambut cokelat gelapnya yang sudah berantakan, berusaha mengembalikan kesadaran yang hampir sepenuhnya raib.

Azalea benar, suhu ini cukup dingin jika dibandingkan hari-hari biasanya. Dia tidak begitu menyadarinya jika sekarang dia tidak berada di kamar Azalea--seperti yang dia bilang, jendela di kamar Azalea jauh lebih besar darinya. Ada beberapa penyebab dari dingin malam ini yang muncul di kepalanya, dan anehnya ada sebuah nama yang terus melekat dalam pikirannya.

Yasa.

Kemungkinan besar lelaki itu yang membuat suhu malam terasa lebih dingin dari biasanya. Dia ingin tertawa memikirkan jawaban absurd tersebut, tetapi dia tidak bisa karena nama laki-laki menyebalkan itu terus terbayang dalam kepalanya.

Yah, setidaknya malam ini tidak akan hujan.

Arsa menangkup salah satu pipinya, lantas diam memperhatikan Azalea yang tengah berkemas-kemas. Dia tidak begitu peduli dengan baju yang dikenakannya. Desa yang ditinggalinya ini memang memiliki suhu yang cukup rendah. Jadi untuk perihal mandi, dia hanya melakukannya sekitar sekali dalam sehari--atau bahkan tidak sama sekali.

"Kau kenapa segitu niatnya ingin pergi, sih?" ucapnya setengah berbisik. Azalea yang mendengarnya hanya tersenyum tipis--menyembunyikan setengah kekesalannya.

***

Arsa membuka matanya setelah dia setengah mendengar kata-kata yang dilontarkan Azalea di tengah tidurnya. Dia menegakkan badannya yang sedari tadi membungkuk, lantas dia mengusap-usap matanya yang masih terasa berat.

"Tadi kau bilang apa?" bisiknya masih dengan mata yang sesekali berkedip.

Arsa mengernyitkan dahinya lantaran tidak ada jawaban dari anak bersurai hitam tersebut. Dibukanya kedua kelopak matanya yang masih terasa berat beriringan dengan terbukanya mulutnya.

"Kenapa kau--"

Arsa tertegun melihat kondisi sosok di hadapannya. Rambut hitam legamnya berantakan. Wajahnya terdapat bekas air mata yang samar. Netra beriris sokelat gelapnya memancarkan kesenduan yang samar, tapi dapat diketahuinya dengan jelas.

Sekelam AngkasaWhere stories live. Discover now