9. Sosok Bermata Merah dan Sudut Pandangnya

20 2 0
                                    

huhu, gomen lama bgt gak up. bab ini aku nulisnya lancar dan ringan banget, gak ada beban gitu. dan funfact, aku nulis bab ini di hp, sama seperti bab satu, dua, dan tiga. semoga ke depannya bisa terus seperti ini ya :)

***

Yasa, yang sejak tadi ikut memperhatikan kejadian unik--aneh--di hadapannya, tengah memikirkan suatu topik agar keheningan tidak terus melingkupi rumah sunyi ini. Sebenarnya ada ayahnya--entah di mana, mungkin dia ada di kamarnya atau tengah merenungkan masa lalu di hutan. Jadi bukan hanya mereka berempat yang tinggal di sini.

Mengingat eksistensi ayahnya--ini agak kejam karena secara tidak langsung dia terang-terangan menunjukkan bahwa tidak sering memikirkan ayahnya--dia segera mengambil waktu untuk bicara, dan pergi dari kecanggungan luar biasa itu. Dia sungguh tidak peduli dengan akibat keputusannya yang akan membebankan bocah bermata biru kehijauan itu--setidaknya itu yang dia suarakan di kepalanya, entah hatinya.

"Hei, maaf. Tapi aku akan keluar sebentar," ucapnya yang jelas menunjukkan bahwa dia ingin segera lepas dari suasana aneh ini dengan cara egois.

Yasa diam, menunggu jawaban dari bocah bermata biru kehijauan dan adiknya, walau sebenarnya dia tidak butuh.

Anehnya, dia merasa dia harus. Padahal dia bukan tipe anak yang meminta izin sepanjang waktu, setidaknya untuk beberapa tahun.

"Kau meninggalkan kami di sini? Bertiga? Dengan cara licik seperti itu?" tanya anak bermata biru kehijauan itu tak percaya dengan secuil sarkasme di dalam kata-katanya. Tatapannya masih datar seperti biasanya.

"Pengecut."

Ya, dia memang pengecut.

"Cara ini tidak licik, bocah."

Setelahnya, Yasa dapat mendengar dengusan yang berasal dari lawan bicaranya.

"Aku tidak bisa menjelaskannya. Kau ini curang--tidak, kau ini pengecut. Lalu, kau hanya dua tahun lebih tua dariku. Tidak wajar memanggilku bocah."

Keduanya terdiam. Yasa malas melanjutkan obrolan, sedangkan diam untuk Arsa memang sudah menjadi kebiasaannya.

"Terse--"

"Pergi saja."

"Eh?" refleksnya selepas mendengar kata terucap dari adik bocah bermata biru itu. "Ah, maksudku, boleh?"

Walau perempuan itu tengah memunggungi dirinya, Yasa dapat merasakan bahwa sosok itu tengah mengerutkan dahinya, perasaan bingung dan kesal bercampur menjadi satu.

"Hah, lucu. Bukankah biasanya kau kasar dan menyebalkan? Kenapa jadi ragu-ragu seperti ini?"

Seolah kau mengenalku saja.

Selepas mendengar kalimat yang ditujukan untuk menyindir dirinya, dia segera pergi menjauh, menganggap kata-kata itu adalah angin lalu.

Sebelum itu, dia menepuk pundak adiknya yang sedari tadi juga memperhatikan kejadian aneh yang bukan seperti ikatan keluarga. Didekatkan bibirnya ke telinga adiknya itu perlahan, lantas dia membisikkan pesan-pesan.

"Aku akan pergi ke ayah sebentar."

Yasa dapat melihat sepasang mata merah menyala itu membulat selepas mendengar perkataannya.

Yasa menarik napas perlahan.

"Kurasa akan tidak sopan jika kita membawa tamu tanpa memberitahunya.

Jadi, kuharap kamu bisa mendekati adiknya, siapa namanya? Azala-- Asalea? Siapalah itu. Kamu boleh menjadi temannya, karena aku tahu kamu juga kesepian di sini. Jangan sampai kejadian tadi terulang lagi, oke?"

Sekelam AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang