3. Permohonan

61 10 2
                                    

Netra milik gadis bersurai hitam itu bergetar tak percaya. Mulutnya terbuka, menunjukkan betapa tercengangnya dia. Napasnya terengah-engah. Badannya berguncang melihat pemandangan yang dia buat dengan kedua tangannya. Kakinya yang masih bergetar hebat itu mengambil dua langkah ke belakang dengan cairan kristal bening berbentuk sungai kecil yang mengalir tanpa dia sadari.

Matanya masih membulat tak percaya. Dia mengangkat tangannya, berniat menutup mulutnya yang menganga lebar itu. Namun matanya justru disuguhkan dengan pemandangan yang senada dengan figur sosok di hadapannya.

Azalea membuka matanya dengan napas yang tak beraturan. Belum sampai sedetik, matanya menyipit setelah menerima kapasitas cahaya melebihi batas yang mampu dia tahan. Kelopak matanya yang menyipit kini mengendur setelah terbiasa dengan kapasitas cahaya tersebut. Sepersekian detik setelahnya, dia merasakan perih menjalar di tubuh bagian kanannya. Namun, sesuatu yang dia lihat tepat puluhan senti di depan matanya mampu membuat napasnya mendadak tersekat.

Mata merah menyala dengan detail berwarna perak yang mendadak hilang. Warna mata yang senada dengan pemandangan di mimpinya itu.

"Ck, tidurlah," bisik seseorang yang bukan ditatapnya seraya berupaya menutup pandangan Azalea dengan tangannya. Azalea terkejut lantaran yang berbicara adalah seorang laki-laki dengan sepasang mata yang senada dengan yang ditatapnya tadi. Dia tidak bisa melihat dengan jelas lantaran tubuh sosok yang ada di sekelilingnya-Azalea tidak tahu pasti jumlahnya-menghalangi jalannya cahaya, sehingga yang bisa dia lihat hanya warna mata mereka.

Tanpa ada alasan yang jelas, dia menuruti ucapan sosok itu, dan tertidur tak lama setelahnya.

***

"Maaf merepotkan kalian berdua," ujar Arsa seraya menundukkan kepalanya sedikit lalu mengangkatnya lagi. Dia terpaksa menggendong Azalea di atas punggungnya, lantaran Azalea belum-dan tidak boleh-bangun. Jika Azalea bangun, rencana yang susah payah dia rancang akan gagal.

"Kau...," ucap Arsa seraya menatap gadis bermata merah itu. Gadis itu hanya diam menunggu Arsa menyelesaikan kalimatnya-karena dia yakin Arsa sengaja menggantung kelimatnya.

"Aku lihat tadi kau melakukan sesuatu padanya. Apa yang kaulakukan?" tanyanya seraya mempertemukan mata cyannya dengan mata merah menyala itu-dengan jarak yang masih membentang tentunya.

Gadis itu tidak menjawab pertanyaannya.

"Kau adalah seorang Earna, bukan?" tanyanya lagi dengan tatapan yang seperti biasanya.

Tidak seperti sebelumnya yang hanya diam menanggapi, kini gadis itu tersenyum tipis. "Iya, kau benar. Tanpa aku beritahu pun, seharusnya kau sudah tahu."

Arsa mendengkus pelan. Dia berakhir harus menyimpan rahasia bahwa Yasa memiliki adik perempuan, dan menurutnya itu menyebalkan. Dia juga harus mencari alasan lain kenapa Azalea bisa terluka, dan tentu saja, alasan mengapa dia keluar dari kamar jika mereka-tentu saja akan-menanyakannya. Masalahnya, Arsa sangat malas untuk mencari alasan lain agar dia tidak disalahkan. Bahkan, dia sudah setengah berniat memberitahu alasan yang sebenarnya, bukan alasan yang harus dicari terlebih dahulu.

Arsa mendengkus pelan. Ah, kenapa dia menuruti ucapan Azalea tadi? Jika dia menolak pasti dia tidak perlu membuat janji dengan Yasa atau mendapat masalah dengan keluarganya nanti, lalu jika dipikir-pikir, ibunya pasti akan memarahinya habis-habisan.

Dia berbalik, berniat melangkahkan kaki untuk kembali ke rumahnya. Namun sebuah pertanyaan yang dilontarkan sosok bermata merah menyala mampu menahan kakinya untuk mengambil langkah.

"Kau yakin tidak mau memberi salam perpisahan?"

Arsa menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan sosok bersuara cukup rendah tersebut. Dia kembali menghadap sang pemilik suara tersebut, batal pulang. Lawan bicaranya itu terkekeh pelan. "Aku tidak percaya di desa ini terdapat para Earna dan Arata lainnya, itu cukup jarang."

Sekelam AngkasaWhere stories live. Discover now