1. Hadiah

152 17 0
                                    

Rambut hitam legam milik seorang gadis kecil itu bergoyang-goyang mengikuti senandung lagu acak yang diucapkan oleh bibirnya. Senyumnya mengembang selepas sepasang mata beriris cokelat gelap miliknya menatap sebuah karya hasil kerja keras tangannya.

Dia berucap pelan, "Cantik."

Matanya kini terpejam, memancarkan kecantikan yang setara dengan senyuman yang masih tercetak sempurna di bibirnya itu. Dia kembali mempercantik karya yang hendak di berikannya kepada seseorang itu. Pita suaranya bergetar, membunyikan beberapa nada acak yang sekiranya mampu mengungkapkan rasa senangnya.

"Azalea,"

Sang pemilik nama tersebut menghentikan kegiatannya dalam sekejap. Kepalanya dia tolehkan ke arah sumber suara. Matanya berkedip polos ke serong meja yang tengah dia gunakan.

Senyumnya mengembang tanpa ada alasan yang berarti, dia hanya ingin memberikan senyum manis untuk menghibur ayahnya yang terbaring lemah di atas kasur yang bukan miliknya.

Sosok itu tersenyum tipis, membalas senyum Azalea yang kini mengendur.

"Tolong pergi ke kamar Arsa bersama makan malamnya. Jangan biarkan dia keluar dari kamar. Ibumu tidak akan senang melihat wajahnya," pintanya lembut.

Azalea mengangguk, menyetujui perintah ayahnya itu. Selepas itu, Azalea mengelus-elus dagunya. Tatapannya tertuju pada atap kamar yang bukan miliknya ini. Dia terang-terangan menunjukkan bahwa dia tengah memikirkan sesuatu. Kurang dari sepukuh detik setelahnya, dia menatap ayahnya lembut.

"Apa Arsa akan keberatan jika Azalea membuatnya menunggu sedikit lebih lama?" tanyanya lembut seraya menatap ayahnya penuh harap.

Pria itu tertawa lemah, tidak bisa menolak permintaan putrinya tersebut. "Lakukan sesukamu asal kamu tetap memberi Arsa makan. Jangan sampai kamu lupa dengannya," jawabnya menyetujui permintaan putrinya itu disertai syarat tak tertulis.

Azalea tersenyum senang. Dia mengembalikan tatapannya pada karya yang baru tiga perempat jadi itu. Kakinya dia ayunkan guna mencurahkan rasa senang yang tidak ingin dia ucapkan. Bibir itu sekali lagi mengucapkan beberapa kata dan nada acak untuk menghibur dirinya di tengah kesunyian yang melanda.

Dia berbisik, "Semoga kau tidak mati kelaparan hanya karena aku menyelesaikan benda ini."

***

Sosok yang memiliki tubuh seukuran Azalea itu menopang kepalanya dengan telapak tangan kanannya. Dia mendengus malas.

"Masuk. Jangan berusaha mengintip lewat pintu karena aku sudah mendengar embusan napasmu," ucapnya datar.

Gadis kecil itu terkekeh pelan. Dia tidak kaget Arsa dapat mengetahui keberadaannya di depan pintu kamar. Kendati tidak kaget, dia penasaran bagaimana sosok itu dapat mengetahui keberadaannya. Sudah beberapa kali dia mencoba mengintip apa yang Arsa lakukan lewat celah pintu. Namun sebelum dia dapat melihat sesuatu di balik celah itu, Arsa akan langsung menyuruhnya masuk. Seperti yang dia lakukan kali ini.

Dia mendorong pintu itu dengan kekehan yang masih terdengar jelas di telinga Arsa.

"Hentikan tawamu itu. Bisa-bisa Ibu mendengar kekehanmu yang nyaring itu," tegur Arsa datar tanpa ekspresi yang berarti.

Kekehan yang mengisi keheningan kamar itu sekejap berhanti. Sosok yang ditegur Arsa itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menyadari kesalahannya barusan.

"Maaf."

Arsa hanya diam tidak menjawab. Sepersekian detik setelahnya, dia mengernyitkan dahinya heran. Bukankah Azalea datang ke sini untuk membawakan makan malam? Lantas mengapa bocah itu justru dengan entengnya cengar-cengir tak bersalah begitu tanpa membawa makanannya?

Sekelam AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang