2. Batu dan Mata Merah Menyala

87 12 3
                                    

"Matamu indah sekali, Arsa," puji Azalea tepat setelah dia menaruh makan siang Arsa di mejanya.

Ini adalah kunjungan pertama Azalea setelah dia memberikan hadiah kenang-kenangan untuk Arsa setahun yang lalu. Benar, satu tahun yang lalu. Mereka memang bertemu sejarang itu. Saat ini umur mereka baru sebelas tahun. Arsa juga memiliki umur yang sama dengannya, hanya saja dia lebih tua 1 bulan dari Azalea.

"Oh, ya?" ujarnya datar. Dia tidak pernah berpikir demikian--dan berusaha untuk tidak berpikir bahwa dia itu spesial.

Azalea menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Matamu itu cantik sekali. Aku hanya berharap aku juga punya mata seperti itu."

Arsa mengamati wajah Azalea yang kini sudah berubah menjadi sedikit--sangat sedikit--lebih dewasa. Wajahnya rupawan yang dia yakin membuat lelaki manapun terpana. Rambut hitam legamnya sudah memanjang kurang lebih sampai punggung. Tingginya bertambah walau tidak banyak. Pipinya yang tembam itu juga sedikit menirus. Tatapan matanya sedikit meredup entah karena apa, tapi dia tahu bahwa itu bukanlah hal yang baik.

Dia mengembuskan napas, heran dengan penuturan kata Azalea barusan. "Jangan iri dengan mataku."

"Kenapa?" tanyanya seraya mengedipkan kedua matanya polos.

Arsa menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Tatapannya masih sama seperti biasa--datar.

"Menurutmu apa lagi?" ucapnya setengah meledek. Kendati begitu, tatapannya masih datar. "Aku dikurung di ruangan entah sampai kapan. Dibenci Ibunya sendiri. Makan dan minum sulit--"

Arsa memotong ucapannya sendiri. Jarinya menunjuk ke arah sepasang iris matanya yang tampak seperti fiksi. "--dan semua itu karena ini."

Dahi Azalea berkerut, bingung. Baru mencerna seperempat arti dari ucapan kakaknya tersebut. "Matamu memangnya kenapa? Warna biru kehijauan itu indah."

Arsa hanya menatap sosok itu tanpa mau menjawab perkataannya. Dia mendengus pelan. Dia akui, fisik Azalea memang berubah, tapi tidak dengan sifatnya. Setelah dipikir-pikir, dia memang harus sabar terhadap sosok di hadapannya ini. Selain itu, bukankah Azalea itu cukup cerdas untuk anak perempuan seusianya? Kenapa hal sederhana seperti ini tidak dapat dimengerti olehnya?

Arsa menatap Azalea lurus. Langsung menatap matanya tanpa keraguan barang setitik pun. Azalea tersentak sedikit dengan aksi Arsa barusan. Tatapan Arsa terasa menusuk matanya, membuatnya ragu untuk membuka mulutnya.

"Justru karena mata ini aku dikurung, Lea," ulangnya tanpa mengubah ekspresinya.

Azalea mengangguk seolah dia paham. Dia menopang kepalanya dengan telapak tangan kanannya. Mencoba membuang jauh-jauh tatapan menusuk Arsa yang diberikan untuknya tadi seolah tatapan itu adalah sebuah kesalahan.

"Kau tahu rasisme?" ucap Arsa lagi.

"Em, tidak?"

"Kalau begitu kau tidak akan paham," balas Arsa jelas dengan pertanyaan yang masih membekas di kepala Azalea.

Azalea mendengkus pelan, lantas menatap ke arah jendela yang menampilkan langit biru dengan awan yang berarak mengikuti angin. Dari kamar Arsa, terdengar pula samar-samar suara penduduk desa yang dia duga tengah menarik perhatian pelanggan untuk membeli barang yang dijajakannya.

Sekelam AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang