la première réunion

1.2K 103 1
                                    

la première réunion.

pertemuan pertama.

7 Juli, pukul 22.25

Tokyo, Jepang.

Kehidupan dikota besar masih berlangsung, kegiatan yang didominasi oleh para orang dewasa tetap dijalankan. Hiruk pikuk khas kota menjadikannya detak jantung Tokyo. Orang-orang yang lalu lalang pergi ke sebuah tempat untuk menghabiskan waktu malam.

Kendaraan bermotor bergerak sesuai jalurnya, menjadikannya seperti peredaran darah untuk jantung di Tokyo ini.

Bunyi ketukan dari jam dinding memenuhi keheningan disebuah tampat asing, atau bahkan tampak tak terlacak. Tempat yang cahaya remang-remang diisi oleh dua orang. Seorang wanita muda dengan seorang pria tua yang sudah terlelap.

Sebut saja tempat ini sebuah cafè yang akan gulung tikar dalam waktu dekat. Penjaga cafè yang juga berperan sebagai pengelolanya tidak mengemban tanggung jawabnya dengan tepat disini. Tertidur di meja kasir dengan posisi kepala di atas meja lalu kedua tangannya menutupi wajah seolah tidak ingin dilihat.

Beda dengan wanita muda yang juga berada di dalam tempat asing ini. Duduk tegap disalah satu kursi yang ada, ditemani oleh secangkir kopi hitam juga papan catur. Dalam kegelapan, tangannya bergerak untuk menggerakan salah satu pion hitamnya ke arah pion lawan.

Sangat tidak lazim bahwa seorang wanita pergi ke tempat asing seperti ini sendirian, ditambah bermain catur tanpa lawan.

Saudara sekalian mungkin berpikir, apa yang dia lawan?

Angin?

Sosok yang tak berwujud?

Atau hal lain?

Biarlah wanita ini menjawab, "pikirannya sendiri." Bagaimana bisa? Tidak ada yang tahu pasti soal itu. Tangannya berhenti menggerakkan pion-pion yang berada di atas papan caturnya. Meraih gagang cangkir keramik kemudian mendekatkannya dengan bibirnya. Menyesap sedikit demi sedikit.

Mengecap rasa pahit yang ada didalam mulutnya saat ini.

Atensinya tersedot saat pintu cafè dibuka oleh seseorang. Dari penglihatan sang wanita, hanya terdapat siluet sosok yang memasuki cafè, dan tentunya siluet yang dimaksud ini dimiliki oleh seorang lelaki.

Kening sang wanita mengeryit, kenapa bisa ada seseorang yang tertarik memasuki tempat asing seperti ini selain dirinya?

Tidak ada maksud terganggu atau risih dengan keberadaannya, hanya saja, banyak tempat hiburan malam yang jauh lebih menarik perhatian orang dewasa daripada tempat gelap dan hampir tak terlacak semacam tempat ini.

Penjaga cafè yang tadinya tertidur nyenyak ditempatnya, kini memasang pose tegap begitu mendengar langkah kaki yang mendekati meja kasir.

Dua insan yang berada jauh dari tempatnya duduk sambil menghabiskan waktu malamnya dengan kegiatannya ini, berbincang sejenak. Kedua telinga sang wanita tak dapat menangkap percakapan seperti apa yang dibicarakan dua lelaki itu.

Tak mau berkelit dengan pikirannya, sang wanita kembali menggerakkan pion hitam ke sebuah pion putih yang berada di hadapannya. Berpikir sejenak untuk mendapatkan strategi yang mantap. Hingga pemikirannya kehilangan keseimbangan, sebab sebuah suara menginturpsinya.

"Boleh saya duduk di dekat Anda?"

Suara berat dan mampu menggoda iman wanita diperdengarkan. Mata sang wanita tak mampu melihat wajah lawan bicara dengan jelas, karena cahaya yang remang-remang ditempat ini. Yang ia lihat hanya siluetnya--lagi.

"Iya, tentu saja boleh," jawabnya.

Kursi di hadapannya ditarik dan kemudian diisi oleh lawan bicaranya.

"Kalau boleh tahu.. kenapa Anda memilih kemari?" tanya sang wanita. Penasaran dengan alasan lawan bicaranya ini.

"Tempat ini lebih sepi juga tenang, tak seperti tempat lain--tempat hiburan malam yang ada diluar sana."

Kemudian lawan bicaranya menyesap minuman yang tampaknya ia pesan tadi dengan penjaga cafè. Kepala sang wanita diangguk-anggukkan, tanda paham dengan penjelasan yang diberikan oleh lawan bicaranya. "Kalau Anda sendiri, kenapa kemari?" Kini ia yang bertanya balik pada sang wanita.

"Tempat ini, beda dengan tempat yang lain--atau beda dengan cafè lain--lebih senyap juga lebih nyaman."

Sang lawan bicara tak menampilkan respon, namun tetap menyesap minumannya.

"Bermain catur?"

"Iya, begitulah, Anda tertarik menjadi lawan saya?"

"Tidak terimakasih, saya tidak begitu paham dengan permainan semacam ini."

"Baiklah."

Kedua insan yang duduk berhadapan ini melaksanakan kegiatannya masing-masing, tanpa saling menginterupsi satu sama lain. Ketenangan mereka tidak terpecah walau diperdengarkan suara ribut di malam hari.

Detingan cangkir dengan piring kecil yang dijadikan alasnya mengundang lirikan dari sang wanita. Menatap lawan bicaranya selagi menggerakkan pion putih yang berada disisi lain papan.

"Sudah mau keluar cafè?"

"Ya, kopi miliku sudah habis," jawab lawan bicaranya.

Siluet pria itu berdiri, hendak meninggalkan meja tanpa berbalik, namun aksinya dihentikan oleh sang wanita. "Karena sudah menjadi teman bicara saya malam ini, bisa perkenalkan diri Anda? Kenalkan nama saya, [fullname] bisa Anda panggil [name]-san," ucap [name] sambil mengulurkan tangan kanannya.

Lawan bicaranya itu berbalik, menyambut hangat tangan [name] yang terulur kepadanya.

"Siapa namamu?"

"Nanami, Nanami Kento," jawab Nanami.

Dari sinilah mereka dipertemukan. Disebuah tempat asing yang tidak banyak peminatnya, juga berkenalan tanpa tahu bagaimana raut wajah masing-masing.










to be continue.

_______________

(=) akhirnya saya kesampaian juga bikin book Nanami hahaha. saya agak khawatir kalo nanti book ini bakal ngebosenin... 🗿.

tapi mudah-mudahan kalian--para reader--bisa menikmati book ini.

tacenda、 nanami kento.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt