spurning

234 38 0
                                    

spurning

pertanyaan

18 Agustus, pukul 18.24

Tokyo, Jepang.

Senja mengambil alih waktu siang. Cahaya oranye dengan sedikit kuning lembut dan merah menghiasi langit. Aktivitas mereka masih belum selesai oleh waktu, sebagian bergerak pulang ke kediaman mereka dan sebagian lagi harus tetap ditempat untuk melanjutkannya.

Wanita dengan papan catur kesayangannya kembali menempati cafè itu. Lagi dan lagi, seolah tidak jenuh dengan atmosfernya. Tempat yang kini diisi oleh dua orang itu tak sepi seperti waktu lalu, iringan musik klasik bernada rendah mengalun pelan dari mengeras suara disetiap sudut ruangan.

Sekarang ia tampak seperti penikmat senja. Cangkir berisi kopi dengan papan catur, musik klasik bernada rendah, dan tempat yang sepi, lengkap sudah segala ketenangannya.

Bunyi detingan nyaring dari pintu cafè menyapa. Menampilkan pengunjung lainnya, siluet pria. [name] Sudah menebak siapa yang datang kemari. "Nanami-san, ya?" [name] memastikan. "Iya, ini aku," jawabnya sambil menarik kursi yang hendak ia tempati.

Pertemuan tak rutin dari mereka ini berawal lebih cepat daripada pertemuan sebelumnya.

Indera penciuman [name] menangkap aroma anyir dari tempat duduk Nanami. "Nanami-san ada yang luka?" [name] kemudian berinisiatif memberi pria itu perban dan obat antiseptik. "Ah. Ini.."

Darah yang keluar dari lukanya--akibat misinya--tampaknya tidak dibersihkan secara menyeluruh. "Ini, untuk membersihkan lukanya," tawar [name]. Ia mengulurkan tangannya untuk memberi Nanami perban serta obat antiseptik yang ia bawa. "Terimakasih, [name]-san."

Nanami menerima kedua benda medis tersebut, kemudian mengantonginya untuk nanti ia gunakan. "Kecelakaan kerja?" [name] bertanya lagi. "Iya, begitulah, tempat kerjaku lumayan berbahaya," jawabnya. Yang Nanami maksud ialah lokasi tempat ia memburu kutukan, bukan tempat kerja semacam gedung kantor.

"Kenapa tidak pindah saja?"

"Kalau begitu aku tidak ada pemasukan."

"Black Company?"

"Bisa jadi begitu."

"Kejam sekali!"

[name] menyesap minumannya, sedangkan tangannya menggerakan pion catur kesana kemari. "Dunia kerja memang kejam, ku rasa tidak ada yang dunia kerja yang lembut." Nanami tertawa pahit. Di dalam tawanya, separuh ia merasa menyesal telah membohongi [name] berkali-kali juga separuh menelan pahitnya realita.

"Mau itu pekerjaannya atau pegawainya sama-sama kejamnya, hah.. aku mau balik jadi embrio saja deh," keluh [name] sambil mengacak surai [h/c] miliknya.

"Pegawainya, kau punya banyak masalah dengan mereka?"

"Sebenarnya sih lebih mereka yang cari ribut duluan, yah ujung-ujungnya juga.. dipanggil ke ruangan bos, ampun. Juga, bos selalu mendukung mereka, lengkap sudah penderitaanku di kantor." Nadanya terdengar frustasi dengan semuanya.

"Gaji ku kadang dipotong karena hal itu, benar-benar bukan bos idaman. Pantas saja jadi perjaka tua peyot kalau kelakuannya begitu!"

[name] mendengus kemudian tertawa. Sementara Nanami hanya menghela napas demi menahan tawanya. Dia mengerti betul dengan apa yang dirasakan [name]. Berjuang menghidupi diri sendiri ditengah masyarakat seperti ini susahnya minta ampun!

"Hah.. setidaknya perasaanku jadi lebih ringan," setelah meneguk minumannya [name] berkata.

"Terimakasih, ya!"

Nanami mengangguk lalu membalasnya, "sama-sama, seperti yang aku katakan sebelumnya, kalau ada yang ingin diceritakan padaku, ceritakan saja." Pria itu meneguk minuman yang tersaji di dalam cangkir hingga menyisakan sedikit dari ukuran semula.

Iringan musik klasik bernada rendah kembali mendominasi indera pendengaran mereka. Keadaan damai yang tak hening namun tak bising menyelimuti atmosfer cafè kecil tersebut.

Para penghuni yang saling menikmati kegiatan mereka sepenuh hati, ditemani langit senja yang berangsur-angsur menggelap untuk menyambut malam tiba. Diluar sana beberapa tempat sudah menyalakan lampu luar untuk menambahkan penerangan. Angin berwarna kelabu mengarak matahari beristirahat.

"Sudah mau malam," bisik Nanami kala melihat ke arah luar.

"Sebelum berpisah, ada yang ingin aku bicarakan dengan Nanami-san," ucap [name] tiba-tiba.

Atensi Nanami uang semulanya berfokus ke langit malam kini berpindah ke arah wanita dihadapannya, siluetnya semakin memudar dan menyatu dengan gelapnya cafè.

"Sudah sering, mungkin sekitar 5--jika ini juga dihitung--pertemuan tak rutin kita bertemu. Kadang larut malam, atau sore-sore begini. Menurut Nanami-san aku ini apa?"

[name] mempertanyakan eksistensinya, dianggap apa ia ini oleh sang pria? Dia sedikit ragu, bagaimana jika [name] benar-benar menganggap pria dihadapannya ini begitu penting dan merupakan alasan ia jadi lebih sering berkunjung kemari, namun sang pria ini--Nanami--hanya menganggapnya sebagai tempat berkeluh kesah saja?

Sang wanita mengharap jawaban yang memuaskan, namun hancur kala sang pria menjawabnya.

"Sandaran."

"Aku menganggapmu sebagai sandaranku."

Jadi, ia hanya akan menjadi sandaran ketika dunianya sedang tidak baik-baik saja, begitu?

Pertanyaan tadi itu, benar-benar menghancurkan ekspetasinya.

Sandaran untuk pria yang bahkan belum tentu menjadi jodohnya. [name].. kau masih mau bertahan untuknya?


to be continue.
__________________________

anggap saja hubungan kalian sama Nanami itu 'rumah' sebagai tempat rehat, sama kayak konsep ceritanya yakni 'percakapan antara dua insan untuk melepas lelah.'

oke, saya sedikit jelasin.

[name] sama Nanami sama-sama nerima cerita masing-masing kan, ya. kadang Nanami atau kadang [name]. jadi pas [name] cerita, Nanami jadi 'rumah' trus kalo pas Nanami cerita [name] gantian jadi 'rumah'nya. mungkin kalian pernah denger lagu Kukira Kau Rumah dari Amigdala?

kalau diliat dari makna lirik lagunya, kira-kira begitu artian hubungan kalian sama Nanami.

kau singgah tapi tak sungguh--disini mirip-mirip sama perasaan [name] atas jawaban Nanami.

karena [name] kira Nanami punya perasaan sama kayak dia, karena mereka juga bisa dibilang deket sebab pertemuan tak rutin. Tapi kenyataannya si Nanami nganggep [name] 'sandaran' doang.

tacenda、 nanami kento.Where stories live. Discover now