posledné stretnutie

160 21 1
                                    

posledné stretnutie

pertemuan terakhir

21 November, pukul 16.32

Tokyo, Jepang. 

Langit berubah menjadi jingga keemasan, ditambah dengan awan putih yang tertiup angin lembut. Udara membawa aroma musim gugur berhembus tenang. Kota ini, setidaknya lebih baik dari satu bulan yang lalu. Padahal, satu bulan yang lalu kota ini sudah tampak serupa dengan kota antah berantah. Beberapa bangunan masih berdiri meski ada cacat. Setidaknya ini lebih baik. Lebih baik ketimbang hancur lebur.

[name] menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri. Entah beruntung atau apa, ia bisa terhindar dari Insiden Shibuya yang mengenaskan itu. Tapi, Nanami-san... batinnya. Dirinya terus berjalan ke arah yang dituju sambil membawa bungkus karton dan buket bunga bakung. Kembali ke tempat ini tampak seperti pilihan yang cukup buruk. Tapi, ia rasa ini adalah hari terakhir ia bertemu dengan Nanami. 

Pria yang membuat detak jantungnya berdetak tak keruan.

Pria yang berbaik hati mau menerimanya tanpa rasa terpaksa. 

Juga, pria yang membuatnya jatuh cinta.

Pria yang akan ia cintai sampai akhir hanyatnya.

[name] melewati trotoar setengah hancur dengan hati-hati. Banyak gedung dan jalan yang sedang di perbaiki, kelewat banyak. Pikiran [name] bertanya-tanya, 'jika kerusakannya segini parahnya, bagaimana situasi saat Insiden itu terjadi?' Dirinya sedikit beruntung pada saat itu sedang berada di luar Jepang. Tapi dirinya juga merasa kehilangan (lagi), karena pria yang ia cintai itu, termasuk ke dalam daftar korban Insiden Shibuya. Nanami-san itu, shaman, ya? tanyanya pada diri sendiri. 

Meski bukan Nanami-lah yang mengatakannya sendiri, secara alami, kebohongan itu akan terkuak sendirinya karena pemicu. Mata [name] menyayu begitu mendekati tempat tujuan. Selama ini, masing-masing punya hal yang harus dirahasiakan, ya? Waktu itu apa yang Nanami-san sembunyikan--pekerjaannya sebagai shaman--hampir terendus, batin [name]. Udara musim gugur yang pekat memasuki rongga hidungnya begitu angin berhembus.  

Padahal dua hari yang lalu--sebelum Insiden Shibuya terjadi--suasananya damai, batinnya kembali. Tapi, takdir itu selalu diluar prediksi, sang pikiran menimpal. 

Kalau pun kau tahu semua ini akan terjadi, memangnya, apa yang akan kau lakukan?  tanya sang pikiran. 

Hamparan tanah berumput dengan banyak gundukan tanah membentuk makam menjadi pemandangan pertama yang [name] lihat begitu berada di depan gerbang pemakaman. Makam khas Shinto memenuhi tanah hijau, pemandangan tak mengenakan itu menjadi apa yang harus ia tatap kedepannya. Shaman dan non-shaman, semua orang itu berbaur dalam satu tempat. Langkah berat membuat [name] terpaksa memasuki area pemakaman, sambil menolehkan kepala ke kanan dan kiri demi menemukan nama 'Nanami Kento' di salah satu nisannya. 

Atmosfer di tempat ini, begitu kental dengan banyak kesedihan bertumpuk, atmosfer menyayangkan juga kekecewaan. Beberapa keluarga yang kebetulan juga berkunjung ke pemakaman itu, membawa buket bunga bakung. [name] berhenti di depan sebuah makam, makam yang tentunya bertuliskan orang yang ia cari. Bingkai foto diletakkan di dekat makam, bingkai yang berisi potret Nanami. Tidak ada senyum yang terukir, hanya raut wajah yang tampak kelelahan bekerja semalam suntuk. 

Potret yang tidak jauh beda dengan terakhir kali ia melihatnya, bagaimana pun juga rupanya di saat terakhirnya, [name] akan tetap mengatakan bahwa rupa Nanami tetaplah memukau. [name] mengubah posisinya menjadi jongkok di hadapan makam Nanami, supaya pandangannya setara dengan makam yang berdiri.

tacenda、 nanami kento.Where stories live. Discover now