ugefaangen ze entfalen

165 24 0
                                    

ugefaangen ze entfalen

mulai terkuak

5 Oktober, pukul 21.48

Tokyo, Jepang.

Setelah absen tanpa kabar, [name] akhirnya pergi menemui Nanami ditempat mereka sering bertemu. Nanami setidaknya lega bisa mendapati [name] yang melangkah masuk ke dalam cafè. Bunyi bel mengudara, menarik atensi Nanami yang duduk sambil menatap cangkirnya.

"Malam, Nanami-san," sapa [name] yang mendekati meja tempat Nanami duduk.

"Malam, sekarang akhirnya kembali berkunjung kemari, ya."  

"Iya." Suara yang keluar terdengar lesu tak bertenaga.

Kursi kayu ditarik ke belakang beberapa senti, kemudian barulah [name] mendudukinya, menyandarkan punggungnya yang lelah ke benda keras itu. "Beberapa hari lalu, kenapa tidak ada kabar?" [name] dengan pesanannya yang baru datang sontak menghentikan pergerakannya. Bibirnya terkantup erat, alisnya bertaut untuk menghentikan laju air matanya yang lancang ingin turun.

Dia tak ingin lukanya terbuka, tapi ia tak ingin jika harus menahan perasaan.

"Tidak apa-apa, aku hanya lupa mengabari Nanami-san kalau hari itu dan beberapa hari ke depan aku sangat sibuk. Maaf, ya," elak [name].

Padahal air matanya sudah turun membasahi pipinya, tetapi ia tidak terdengar melontarkan suara gemetar. Dan malah tertawa seolah semua baik-baik saja.

Di masyarakat, orang-orang harus bersikap baik-baik saja, karena simpati tidak mudah diraup dengan mudahnya. Belum tentu mereka peduli, mungkin saja hanya penasaran, kemudian semua itu bisa saja jadi bahan gosip kecil-kecilan.

Ia meneguk minumannya bersamaan dengan meneguk kesedihan yang menusuk tenggorokannya.

"Kau.. berbohong."

"Ucapkan jujur saja, apa yang telah terjadi."

Manik [name] bergetar, dadanya naik turun tidak stabil. Pukulan keras itu lagi-lagi menghantamnya, membuat memar pada kalbu. Sekian jam ia habiskan menenangkan diri, namun pecah saat pria di depannya ini mengatakan hal demikian. Dari mulutnya keluar desisan merendah diri, menyindir dan menyindir. Menjatuhkan mentalnya sendiri.

Dia menyesal, dia kesal.

Kenapa dia tidak menghabiskan waktu dengan baik dengan sang ibunda?

Kenapa ia tak berdoa lebih rajin lagi?

"Kau bisa menangis, jika itu membuatmu lebih baik. Aku tak keberatan jika malam ini hanya dihabiskan dengan mendengar ceritamu," Nanami menyodorkan sapu tangan dari balik saku jasnya. Memberinya sebagai pengganti dari usapan lembut di wajah [name].

Sesekali suaranya bertumpuk dengan suara mengambil napas. Nada yang dikeluarkan berantakan. Walau begitu, ia bersusah payah menceritakannya kepada Nanami. Bersandar pada 'rumah'nya. Tempat ia berlabuh, sampai ia singgah ke suatu tempat.

Pertemuan ini hanyalah permainan peran. Ketika curtain call, mereka kembali menjadi apa yang seharusnya ditakdirkan.

tacenda、 nanami kento.Where stories live. Discover now