divario

342 59 3
                                    

divario

celah

16 Juli, pukul 11.58

Tokyo, Jepang.

Hari berjalan menuju siang, para pekerja keluar dari kantor untuk mengisi perutnya yang tengah kelaparan semenjak bekerja. Sama halnya dengan [name], perutnya kini berbunyi pelan tanda minta diisi makanan. Namun masih ada beberapa pekerjaan yang masih menumpuk menyebabkan ia menunda kegiatan makannya untuk sementara waktu hingga pekerjaannya ini beres total.

"[name], ayo makan siang diluar!"

"Sebentar dulu, tinggal sedikit lagi nih," sahut [name] yang masih memfokuskan matanya pada layar komputer. Dengan gerakan gesit, tangan [name] menari diatas keyboard. "Yak! Selesai," gumam [name] yang kemudian berdiri dari kursinya dan meregangkan punggungnya yang sudah kaku.

Ia menyetarakan langkahnya dengan kedua rekan kerjanya, yang tentunya sudah mendahului langkah [name].

"Kerjaan mu itu menumpuk lagi?" tanya Kotoha.

"Iya, sekarang majalah model banyak peminatnya, jadi banyak orang yang harus ku promosikan," keluh [name].

"Jadinya kau lembur di kantor, ya?" Sekarang giliran Tatsumi yang bertanya. "Eh? Lembur dikantor?" [name] membeo. Mengulas balik ingatannya. "Kurasa aku tidak pernah ambil lembur di kantor," tambah [name]. 

Tatsumi dan Kotoha memandang [name] dengan raut yang tidak bisa didefinisikan. "Lalu, kau pulang malam ke apartemen sebab apa?" tanya Tatsumi. "Ibu mu sering menelepon kami karena kau sering pulang telat, kami pikir kau lembur," dukung Kotoha.

[name] terdiam sambil menyusun schedule dalam kesehariannya di otaknya dengan asal-asalan. "Oh, aku pergi ke cafè biasa itu lho!" Setelah berpikir panjang [name] menemukan alibinya. "Sampai telat?" Kotoha menggelengkan kepalanya disusul oleh Tatsumi yang menghela napas pendek.

Mereka berjalan menuju lobby kantor dan melangkahkan kaki keluar dari pintu otomatis. 

"Ya.. begitulah, maklumkanlah," ucap [name] lalu menjulurkan lidahnya seolah ia anak yang sulit diatur.

"Memangnya disana ngapain saja? Bisa-bisanya sampai larut malam," selidik Tatsumi.

"Aku ngobrol dengan pengunjung lain!" Tanpa dosa ia mengungkapkannya. "Yang benar saja..." Kedua rekannya mengeluh dengan tingkah laku [name] yang bisa dikatakan abnormal itu. Dalam hati mereka berdoa agar [name] bisa mengendalikan tingkah lakunya.

"Pria atau wanita?"

"Apanya?"

"Pengunjung yang kau maksud."

"Oh, dia pria."

Kedua orang itu memasang raut wajah sedikit terkejut. Pikiran mereka melayang pada hal negatif yang menimpa [name]. Apa [name] menjadi teman bicara sejumlah pria hanya untuk uang? Mengingat [name] dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang yang mampu menghidupinya dan Ibundanya.

"Dia pria baik-baik kok, tenang saja," hibur [name].

Kotoha dan Tatsumi sedikit lega dengan ucapan [name]. Setidaknya [name] aman dari bahaya seorang pria bejat. "Bagaimana wajahnya? Apa dia tampan?" Kotoha berkobar-kobar perihal pria tampan. Namun, [name] terdiam sejenak, bahkan ia belum pernah melihat wajahnya akibat cahaya yang remang-remang di cafè itu.

Lalu ia mengangkat kedua bahu sebagai jawabannya.

"Entahlah, aku juga belum pernah melihat wajahnya."

"Jadi selama ini kau hanya mendengar suaranya?"

[name] mengangguk setuju. "Jadi agak horor, ya," sahut Tatsumi. "Berdua--kalau penjaganya tidak dihitung--ditempat asing seperti itu, cuman mendengar suara, kesan game horor terasa sekali," tambahnya. "Tidak! Tidak! kalau diucapkan secara vulgar suaranya itu sexy," kata [name] sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Hei!" hardik keduanya.

Sedangkan [name] cekikikan sambil nyengir. Langkah kedua orang tersebut tetap berlanjut, namun [name] menghentikan langkahnya begitu melihat eksistensi dari sebuah siluet yang ia kenali. Tatsumi dan Kotoha? Mereka tidak menyadari bahwa [name] terdiam beberapa langkah dibelakang mereka.

Siluet yang bergerak liar kesana kemari seolah memburu sesuatu.

Ditambah bunyi gaungan yang rendah dan suara retakan sedikit memantul pada wilayah sepi itu.

Akan tetapi siluet itu tetap bergerak menghindari udara. Hingga berhenti disatu titik yang lumayan jauh, kemudian terdiam sejenak. Seolah menatap kembali [name] yang mengamatinya dari kejauhan. Merasa ia diamati, pemilik siluet itu menghilang diantara kegelapan.

Siluet itu mirip dengan siluet Nanami yang sering [name] lihat di cafè dimana mereka menghabiskan waktu malam bersama.

"Itu Nanami-san?"

[name] bertanya pada dirinya sendiri, memastikan penglihatannya tidak kabur.

"[name]! Hei! Kau kenapa? Cepat kemari atau kau tertinggal jam makan siang!"

Buru-buru [name] menoleh dan berjalan cepat menuju kedua rekan kerjanya. Dengan pikiran yang berkelit atas penglihatannya tadi. Apa itu Nanami? Atau siluet miliki orang lain?

to be continue.
____________________

tacenda、 nanami kento.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz