corazón

165 24 0
                                    

corazón

hati

29 Oktober, pukul 21.48

Tokyo, Jepang.

Pengakuan mendadak dan menggetarkan itu masih melekat. Bukan rasa sakit atau kecewa, tapi rasa ragu itu yang membuat [name] merasa tak bisa lagi memasang muka dihadapan Nanami. Ia juga tak bisa sembarangan membatalkan pertemuan yang sudah ditentukan Nanami begitu saja tanpa memberi alasan valid. Langkah kakinya membawanya ke tempat mereka pertama kali bertemu. 

Awal mula dari semua kebohongan yang mereka sembunyikan.

Sama seperti tempatnya yang hampir tak terlacak ini.

Bersembunyi dari keramaian.

Bukankah mereka sama seperti itu? 

Perasaannya berat, hatinya terasa seperti beton saat ini. Raut itu, aku mengecewakan orang lain lagi, batinnya. Pada akhirnya ini salahku, salah jika membohongi orang lain. Salah jika menyakiti perasaan orang lain, batinnya kembali. Hatinya memikul banyak perasaan dalam waktu bersamaan. Bel cafè berdeting begitu [name] membuka pintunya perlahan. 

Sosok penjaga cafè yang biasa menunggu di konternya, kini terlihat mengemasi barang. Rak sederhana di belakang konter tempat ia berdiri kosong, tidak ada satu pun gelas kaca yang mengisi keteraturannya di sana. "Anda lagi, ya?" Sang penjaga cafè itu membuka suaranya sebagai ucapan selamat datang. "Iya, ini saya, [fullname]. Pelanggan tetap di sini," jawabnya. Wanita itu menaruh tas selempangnya di kursi, menanti kehadiran Nanami. 

"Kenapa Anda berbenah, tuan?"

"Cafè ini akan tutup dalam waktu dekat, mungkin besok sudah tidak bisa lagi dihadiri oleh pelanggan."

Tempat bagi [name] untuknya bernaung, akan ditutup selamanya setelah hari esok datang. Sebuah ruangan yang cocok baginya melarikan diri masyarakat, akan direnggut. Kalau diingat-ingat, semenjak awal cafè ini memang sudah mendapat cap 'cafè yang akan gulung tikar dalam waktu dekat'. Jadi, [name] tidak punya hak menghentikan penutupan cafè. "Terima kasih, ya, selama ini sudah mau berkunjung mengisi kekosongan di tempat sepi ini." Penjaga cafè berkata seolah ia akan berpisah jauh dengan [name]. "Tidak mengapa, sayalah yang harusnya berterima kasih kepada Anda yang sudah bersedia membuka cafè ini," balas [name].

Tapi, esok hari, ia juga tidak berada di Jepang lagi. Pagi buta nanti, ia harus berkemas menuju Versailles demi pemotretan majalah brand tersohor.

Rasanya semua akan menghilang ke depannya, ya?

Sepertinya semua yang melekat selama ini akan pergi, ya? 

Sampai kapan semuanya menguap seperti air?

Diam-diam, [name] memperhatikan gerak-gerik sang penjaga cafè--yang bahkan ia tidak ketahui namanya--membereskan kardus demi kardus. Senyum penjaga cafè yang suka lalai itu, sedikit terlihat dengan bantuan pencahayaan remang-remang. "Padahal dulu tempat ini bisa dikatakan ramai, tapi pelanggan sedikit demi sedikit menghilang." Gumaman seperti bisikan itu terdengar sayup-sayup ditelinga [name]. Sedikit demi sedikit menghilang, batin [name] membeokan ucapan yang didengar tadi. 

"Tapi, ada yang datang. Meski hanya satu orang, dia tetap setia datang mengisi kekosongan."

Bertepatan dengan ucapan itu, bel cafè terdengar kembali. Menampilkan sosok yang ia tunggu. Juga sosok yang ia cintai. Nanami Kento, 'rumah' dari [name]. Nanami-san, kau masih mau bertemu denganku.. Setelah aku mengungkapkan pernyataan tempo hari? pikirannya berkata demikian, setelah mendapat fakta bahwa orang yang selama ini ia taruh rasa, masih mau bertemu dengannya.

tacenda、 nanami kento.Where stories live. Discover now