2 : ruang dan uang

96 15 13
                                    

"Mana buku tugas kita?" Felicia mengulurkan tangannya, telapak tangannya bergerak seolah mengisyaratkan Adara untuk cepat memberikan buku-buku itu. Di belakangnya berdiri Wina, Gery, dan Aksa. Saat Wina, Felicia, dan Gery yang tengah menatap tajam Adara yang menunduk ketakutan Aksa justru tak peduli dan memilih sibuk dengan ponselnya.

"Ini." Adara mengulurkan paper bag berisi 4 buku.

Felicia meraihnya dengan kasar lalu mengambil buku-buku di dalamnya dan membuang paper bag itu asal. Di belakangnya Wina menyodorkan satu paper bag berisi buku-buku lagi.

"Nih, tugas geografi kita. Awas kalo lo kerjainnya asal-asalan," ucap Felicia tajam lalu melempar paper bag itu di depan Adara.

Adara menatap lamat paper di depan kakinya. Sudah selama satu tahun mereka meminta Adara mengerjakan tugas-tugas mereka. Dari tugas yang kecil hingga yang berat, mereka benar-benar tidak mempergunakan otak mereka dengan baik.

Adara menggigit bibir dalamnya. "Tapi Fel, tugasnya kan harus dikumpulin hari ini." Butuh keberanian penuh untuk menyanggah perintah mereka.

Sikap mereka yang selalu tempramental terhadap Adara membuatnya merasa sangat tertekan. Mungkin jika Adara bercerita pada seseorang tentang rundungan yang dialaminya orang itu akan bertanya, kenapa Adara tidak melawannya? Kenapa hanya diam diperlakukan seperti itu?

Jawabannya sangat jelas, sia-sia. Bahkan jika dilawan sekali pun tidak akan ada gunanya. Jika kamu tidak punya uang, kamu akan kalah. Jika kamu tidak punya kekuasaan, jelas kamu akan kalah. Banyak hal yang membuat dirinya memilih bungkam. Ketidakadilan seakan menjadi makanannya sehari-hari. Kepalanya seakan di jatuhi bebatuan tajam. Dibiarkan menunduk dan bungkam menerima rasa sakit batu-batu yang menghujani dirinya. Untuk menghindari sakit dari bebatuan itu Adara harus meneduh dan jika dirinya meneduh maka liang lahat lah mungkin yang akan menjadi tempat berteduh terbaik untuk dirinya.

"Ya maka dari itu kita minta lo kerjain sekarang!" Di belakang, Gery bersuara. Berdiri dengan tegak sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Jika kalian pikir laki-laki tidak bisa berbuat kasar pada wanita kalian salah besar. Luka lebam di wajah Adara yang kini tinggal bekasnya saja adalah ulah Gery tiga hari lalu.

"Tapi gue harus belajar buat persiapan seleksi olimpiade pulang sekolah nanti." Adara gemetar, dia lagi-lagi harus berhadapan dengan berbagai masalah.

"Yang minta lo ikutan olimpiade siapa? Hah?!" teriak Felicia nyalang, mendorong bahu Adara membuat Adara limbung dan hampir jatuh.

"Lo gausah cari perhatian pake ikut-ikutan lomba," desis Felicia. "Sherly udah jadi kandidat tetap buat ikutan olimpiade itu, well... lo gak usah mimpi!" Hinaan itu dilontarkan tepat di depan wajah Adara. Felicia tersenyum miring.

"Kenapa Sherly lagi? Seleksi masih besok." Bibir Adara bergetar, menahan dadanya yang sesak bukan main. Adara sudah belajar mati-matian untuk ikut seleksi olimpiade tapi lagi lagi Sherly yang menjadi pemenang bahkan sebelum seleksi dilakukan.

Felicia tertawa lantang. "Lo pikir lo bisa ngalahin Sherly? Pake otak dong!" Gadis itu mendorong dahi Adara dengan satu jari. Felicia terus mendorongnya sembari menghujani Adara dengan hinaan, hingga tubuh Adara menabrak dinding.

"Lo miskin!"

"Lo tolol!"

"Lo gak ada apa-apanya dibanding kita."

"Sampah kaya lo gak pantes sekolah disini!"

"Kenapa gue gak pantes sekolah disini?!" pekik Adara penuh emosi, entah apa yang akan terjadi setelah ini ia tidak peduli. Walaupun Adara masih ingat rasa sakit kemarin saat ditampar oleh Gery gara-gara melawan perintah mereka.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Where stories live. Discover now