22 : ironi hidup

50 7 5
                                    

Sunyi menampar kedua insan yang tengah jalan berdampingan, menghadap lalu lalang orang-orang di trotoar jalanan. Tak ada yang berani memulai untuk bersuara, entah Adara atau Aksa.

Sekarang udah sepuluh menit mereka duduk di sana, hanya diam dan menatap gamang objek di depannya.

Kali ini mereka memilih untuk bolos, suasana sekolah sedang panas. Beberapa orang demo di depan gerbang sekolah menuntut keadilan untuk korban perundungan. Mungkin sebentar lagi Kepala Sekolah akan memulangkan murid-murid karena kekacauan itu.

"Itu lo?" Akhirnya Adara mengeluarkan suaranya, tapi ia masih enggan untuk menolehkan kepala.

Aksa hanya diam, kali ini ia memandang ujung sepatunya.

"Gue anggep jawabannya iya," ujarnya lagi.

"Thank you udah mau lakuin itu buat gue, maaf juga karena lo harus milih salah satu antara gue dan adik lo. Gue gak bermaksud buat lo berada di posisi yang sulit. Lo boleh marah sama gue, karena gue udah buat lo ngorbanin adik lo sendiri." Adara menatap sepasang netra Aksa.

Sulit untuk berada di posisi Aksa. Biar pun itu adalah sebuah kesalahan yang memang harus diungkapkan, tapi jika yang melakukannya adalah salah satu bagian dari keluarga, pasti cukup sulit untuk mengungkapkan yang sebenarnya sampai adiknya dibenci banyak orang.

"Kamu gak salah, dia emang sepatutnya terima itu," tutur lelaki itu.

Aksa benar-benar bingung sekarang, ia yakin apa yang dilakukannya dengan membongkar semua sifat Sherly adalah benar, tapi ia di lain perasaan, Aksa tak yakin apakah dengan ini Sherly akan menjadi orang yang lebih baik atau tidak.

Apakah Aksa masih pantas disebut sebagai kakak karena telah mengungkapkan semua kebenaran dan membuat adiknya mendapat banyak kecaman dari orang-orang.

Bus datang, Aksa dan Adara menoleh secara bersamaan. Gadis itu menghela, kemudian tersenyum pada Aksa. "Gue pulang kalo gitu."

Aksa mengangguk, kemudian mempersilakan Adara untuk masuk ke dalam bus dengan gerakan matanya. Lelaki itu melambaikan tangan ketika Adara mengambil langkah masuk ke dalam bus.

Adara mengambil kursi yang berada di dekat jendela, memasangkan earphone pada telingannya, lalu menoleh pada Aksa yang masih menunggunya untuk pergi.

Sesuatu tiba-tiba melintas di kepala Aksa, ia segera mengambil ponsel dari dalam saku jasnya, mengetik pesan singkat untuk Adara.

Pandangan Adara beralih pada ponselnya yang bergetar, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya. Senyum kecil terukir di bibir Adara ketika melihat nama pengirimnya.

Aksa gans😐

Aku mau ngomong sesuatu,
Kita ketemu di rumah makan Abah

Adara menoleh pada Aksa yang menunggu jawabannya, lantas mengacungkan tangan membentuk huruf O. "Oke," katanya.

Mata Aksa mengikuti arah bus yang mulai meninggalkan halte. Sekali lagi Lelaki itu melambaikan tangannya. Setelah bus benar-benar telah menghilang dari pandangannya, senyum Aksa meluruh.

Dering ponsel mengalihkan pandangannya pada jalanan ramai Ibukota. "Arlan?" Kepala miring, tumben sekali Arlan menelfonnya. Padahal biasanya lelaki itu hanya sebatas mengirim pesan singkat dan selesai. Ia kemudian menggeserkan ikon hijau, lalu menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Aksa!" Di sebrang Arlan menjerit heboh, membuat Aksa menjauhkan ponsel dari telinganya. Bisa berdarah telinganya jika tidak cepat-cepat dijauhkan.

Terdengar suara napas Arlan yang memburu, seperti orang yang baru saja lari maraton. Padahal sebelum ia pergi, temannya itu hanya duduk di dalam gudang berhadapan dengan laptop.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Where stories live. Discover now