6 : senin yang rumit

71 15 2
                                    

Satu demi satu tangga menuju lantai satu Adara lewati dengan langkah yang pincang. Saat Wina mendorongnya di kantin beberapa jam lalu bukan hanya kepalanya yang tergores sudut meja tetapi kakinya juga terkilir saat gadis itu terjatuh.

Gadis itu menghela nafas ketika akhirnya mencapai lantai paling dasar, ia kini hanya perlu berjalan ke sisi lapangan menuju gerbang sekolah. Adara pun melanjutkan langkahnya dengan penuh kehati-hatian.

Byuurr!!!

Adara terperangah ketika tiba-tiba saja air yang baunya sangat menyengat membasahinya dari atas kepala. Gelakkan tawa dari lantai atas terdengar jelas, Adara tak perlu mendongkak ke atas untuk mengetahui siapa yang menyiramnya karena jawabannya sudah sangat jelas, itu adalah Felicia dan antek-anteknya.

"Woi gembel! Gimana wanginya? Harum gak?!" Wina berteriak dari atas sana, suara tawanya masih berlanjut.

Adara hanya diam tanpa mendongak ke atas. Namun, ia menemukan sosok Sherly berdiri tak jauh darinya. Sherly tak ikut menumpahkan air itu namun, dalangnya Adara yakin pastilah dia karena gadis itu adalah dalang dari segala perundungan yang dialaminya, tapi demi mempertahankan image baiknya di hadapan umum Sherly memilih untuk merundung Adara dari belakang.

Mata keduanya bertemu, Sherly tersenyum puas dari jauh sana dengan tangan yang melipat di depan dada. Tatapan benci sangat tergambar jelas disana. Gadis itu tersenyum licik, seolah semua penderitaan Adara adalah lelucon yang menyenangkan baginya.

"Penderitaan lo gak akan pernah selesai sampai gue puas." Sherly bermonolog, lalu berbalik meninggalkan tempat ia berdiri sebelumnya. Meninggalkan Adara dengan tubuhnya yang basah kuyup.

Dengan cepat Adara menyingkir ketika sebuah wadah yang dipakai Wina dan kawan-kawannya menyiram Adara terlempar dari atas sana.

"Bawa aja, barang kali dirumah lo gak ada!"Felicia berteriak lantang, lalu menghilang dari atas sana ketika Adara mendongak ke atas.

●□●□●□●

"Nyet, lo ngapa gak bilang aja kalo lo suka sama tu cewek?" Chandra mengigit singkong goreng dengan nikmat.

Di sebuah warteg yang berada di dekat kampus keduanya kini duduk, warteg langganan kedua lelaki itu. Tempat setia yang menyediakan makanan mengeyangkan perut dengan harga terjangkau.

"Gue punya nama ya, njing!" sewot Alzam.

"Lah nama gue juga bukan anjing, ngapa lo panggil gue anjing? Hayoo."

Alzam menghela nafas pasrah. Dirinya selalu kalah jika berdebat dengan temannya yang satu ini, padahal ia selalu menang jika debat mengenai pembelajaran ketika tengah berada di kelas saat kuliah. Namun perdebatan mengenai hal sepele dengan Chandra tak pernah ia menangkan apalagi mengenai panggilan monyet dan anjing yang selalu jadi permasalahan ketika mereka memulai pembicaraan.

Chandra selalu heran, kenapa Alzam selalu marah jika dipanggil monyet. Padahal pikirnya monyet itu lucu apalagi jika monyetnya tengah makan dengan rakus, menambahkan kelucuan dari hewan bernama monyet itu. Jika ada yang mengatakan monyet jelek, Chandra akan memarahi mereka karena melakukan monyetshaming dan selanjutnya ia akan berpidato dengan serius soal keimutan monyet.

"Monyet lucu tau," ucap Chandra dengan alisnya yang naik turun dan senyum jahilnya.

"Bacot!" Alzam memilih mengigit bakwan dan mencocolnya ke dalam saus. Chandra terbahak melihat bagaimana muka kesal Alzam ketika mengigit bakwannya.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Where stories live. Discover now