11 : wujud penatian

55 8 6
                                    

Adara berlari tergopoh-gopoh menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang rawat Alena. Setelah mendengar dari perawat Alena bahwa Alena sudah siuman Adara tidak bisa membendung rasa senangnya dan bergegas menuju rumah sakit. Gadis itu hampir menabrak pengunjung rumah sakit karena saking terburu-buru ingin menemui Alena.

Saat sampai Adara justru terdiam di depan pintu ruang rawat Alena. Ia tidak bisa masuk sekarang, karena kedua orang tua Alena sedang ada di dalam.

Dari kaca pintu Adara melihat mereka menangis haru melihat putri semata wayangnya telah membuka matanya setelah sekian lama. Ibu Alena tak henti-hentinya menciumi kening gadis itu sembari memeluknya erat. Ayahnya duduk di samping Alena sembari menggenggam erat lengan putrinya. Alena yang terbaring di atas kasur hanya bisa tersenyum melihat sambutan suka cita kedua orang tuanya.

Dengan cepat Adara menutup mulut, meredam suara tangisnya agar tak sampai terdengar ke dalam. Ketika melihat mata temannya itu benar-benar terbuka dan menengok ke arahnya, air mata Adara semakin mengalir deras. Ia sangat tak menyangka. Kuasa Tuhan benar benar luar biasa, telah menidurkan temannya selama kurang lebih 3 tahun itu sekarang akhirnya bersedia membuatnya terbangun.

Dari dalam Alena menatap Adara yang mematung di depan pintu ruang rawatnya. Hatinya terasa teriris ketika sahabatnya yang juga ia tunggu kehadirannya tak bisa masuk dan memeluk dirinya. Matanya semakin memanas kala melihat Adara menangis di luar sana dengan menutup mulutnya agar tidak terdengar sampai ke dalam.

"Sayang, kamu kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Ibu Alena khawatir melihat mata putrinya yang memerah.

Kepalanya menggeleng. "Gak papa kok, Ma." Ia menunduk dalam, air matanya tak lagi mampu tertahan di kelopak matanya yang sayu.

Bahunya bergetar hebat dengan air mata yang terus menuruni pipinya. Ia lunglai di depan ruang rawat Alena. Adara menangis sembari berjongkok di depan pintu ruang rawat Alena. Tanpa sadar ada seseorang yang memerhatikannya dari jauh.

Perawat yang menelfon Adara datang lalu ikut berjongkok di samping Adara, ia mengelus punggung Adara. "Alena cuman butuh beberapa terapi lagi, habis itu dia bakal sembuh dan bisa kayak dulu lagi," ujar wanita itu dengan suaranya yang lembut.

Adara mengangkat kepalanya lalu menoleh dengan matanya yang sembab. Gadis itu kemudian memeluk wanita di sampingnya, dengan senang hati wanita itu balas memeluk Adara, mengelus surai legam Adara dan berusaha menenangkannya. Perawat itu sudah mengenal Adara selama Alena di rawat di rumah sakit ini, ia adalah satu-satunya teman Alena yang rutin menjenguknya dan selalu merayakan ulang tahun Alena di ruang rawat yang sesak dengan bau obat-obatan.

Terakhir kali merayakan ulang Alena pun ia ada di sana, menonton keduanya di balik pintu ruang rawat dan perawat itu lah yang selalu menyimpan semua kado dan pemberian Adara untuk Alena agar tidak dibuang oleh orang tua Alena karena Perawat itu tau bagaimana sikap kedua orang tua Alena pada Adara.

●□●□●□●

Matanya terpejam ketika angin sore yang menyapa wajah dengan lembut membuat surai panjangnya menari-nari. Di kursi taman yang berada di samping rumah sakit Adara duduk seorang diri, menatap langit sore berwarna jingga dengan alunan musik dari earphone yang menyumbat telingannya. Sebelumnya Adara telah meminta izin pada abah untuk izin tidak bekerja karena akan menunggu Alena di rumah sakit walaupun tidak tepat di dalam ruang rawat temannya itu.

"Sore-sore bengong, kesambet tau rasa." Lelaki itu berkata dengan kedua tangan yang dimasukkan dengan saku celana.

Adara menoleh, lalu beringsut bangun dengan alis yang menukik tajam. "Lo ngikutin gue? Stalker lo ya!"

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Where stories live. Discover now