8: kebetulan tak terduga

61 11 4
                                    


Sherly berjalan menuruni tangga. Pakaiannya telah berganti dengan pakaian yang lebih santai. Wajah murkanya telah lenyap entah kemana. Perbicangan dengan seseorang saat di dalam kamarnya membuat moodnya lebih baik.

"Beresin kamar gue," perintah gadis itu saat seorang asisten rumah tangga mendekatinya.

Wanita paruh baya itu mengangguk lemah, lalu bergegas mengambil alat untuk bersih-bersih. Ia kembali lagi dengan membawa pelan, sapu, serokan, dan juga tempat sampah. Wanita paruh baya itu sudah hafal dengan kelakuan majikannya yang selalu membanting barang ketika marah. Suara pecahan kaca tadi pun terdengar hingga ke lantai bawah. Para asisten rumah tangga yang mendengar hal itu hanya mampu menggeleng kepala.

Sherly berjalan ke ruang keluarga di mana Ayahnya tengah duduk di sana, menunggunya untuk datang.

"Kenapa, Yah?"

Ayahnya menengok, meletakkan sebuah kertas di atas meja. "Apa maksudnya ini? Kenapa nilai ulangan kamu cuma segini?"

Sherly menunduk, mengigit bibir bagian dalamnya dengan kuat. "Maaf, Yah."

"Kamu ini kenapa? Ayah udah daftarin kamu ke tempat les yang bagus kamu gak datang, giliran Ayah datengin guru privat ke rumah kamu cuek. Kamu bilang kamu bisa belajar sendiri, tapi hasilnya gini. Kamu enggak ngehargain Ayah, iya?"

Gadis itu mendongak cepat. "Enggak, Yah. Gak gitu," ucapnya sedikit gagap karena Ayahnya yang menatapnya dengan sorot tajam.

"Contoh kakak kamu, nilai ulangannya selalu bagus. Prestasi dia banyak," tutur Daren, menyenderkan punggungnya pada sofa.

Sherly memilih bungkam ketika Ayahnya lagi-lagi membandingkan dirinya dengan sang kakak. Dadanya bergemuruh hebat, menahan amarahnya membuat tenggorokannya serasa tercekik.

"Kamu tau anak yang Ayah kasih beasiswa? Dia pinter, rajin, nilai-nilai ulangan, dan prestasinya sejauh ini selalu bagus. Kenapa kamu yang justru punya lebih banyak peluang buat dapetin itu semua, malah gak bisa kayak dia?"

"Adara maksud Ayah?" Tangan Sherly mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Air di pelupuk matanya menggenang. "Kenapa si, Yah?" desisnya, menatap Ayahnya begitu intes.

"Dari sekian banyaknya orang, kenapa Ayah bandingin aku sama dia?"

"Sherly!" Bentak Ayahnya. Ia tak terima dirinya dibentak-bentak seperti itu oleh putrinya sendiri.

"Apa gak cukup Ayah banding-bandingin aku sama Aksa?" Tanya Sherly dengan suara parau, ia benar-benar lelah dengan sikap Ayahnya yang selalu menuntut banyak hal darinya. Bukan hanya darinya tapi kakanya juga.

"Kalau memang kamu gak mau Ayah bandingin sama kakak kamu atau Adara, berubah. Dan nurut sama apa yang Ayah bilang. Apa kamu gak malu bawa otak bodoh kamu itu kemana-mana?" Tunjuk Daren pada kepala Sherly dengan kasar.

"Yah!" Air matanya tak lagi kuat terbendung di pelupuk matanya. Tumpah membasahi pipinya. Gadis itu menatap Ayahnya dengan pandangan getir.

"Apa harus aku lenyapin Adara, biar Ayah lebih sayang aku ketimbang dia?!"

Santi yang baru saja pulang dari rumah orang tuanya dikagetkan dengan pertengkaran putrinya dan suaminya. Ia bergegas menghampiri keduanya ketika lengan Daren terangkat–

"Jangan!"

"Mas, tolong jangan tampar Sherly," pintanya dengan sangat. Sembari memegang lengan suaminya yang hampir saja menampar Sherly jika dia tidak bergegas menahannya.

"Jangan ditahan bunda. Gak papa Sherly ditampar Ayah atau dibunuh ayah sekali pun. Asalkan Ayah gak sayang siapa pun kecuali aku, ka Aksa, dan Bunda," kata Sherly dengan suara yang gemetar, ia menatap Ayahnya dengan pandangan yang menusuk seolah apa yang dikatakannya memiliki tujuan tertentu.

AMBIVALEN [SEGERA TERBIT]✔Where stories live. Discover now