36

2.1K 106 0
                                    

Aku melangkah cepat-cepat, menahan amarah yang seperti mau meledak kapan saja. Menahan air mata yang memaksa keluar saat ini juga.

Aku harus kuat. Bukankah aku sudah tau Gusti menghianatiku? Bahwa Gusti memang tidak mencintaiku?

Lantas, mengapa aku perlu menangis?

Tapi.. darah ku begitu mendidih mendengarnya meremehkanku. Menganggapku sangat mudah. Aku masih ga bisa ngebayangin Gusti punya sifat kayak gini.

Aku terus berjalan tanpa arah. Sampai seseorang menarik tanganku dan memelukku. Cepat sekali.

"Woi! Jalan tuh pake mata!" Kudengar seseorang berteriak. Tunggu, aku baru saja hampir ditabrak mobil?!

"Maaf, temen saya sedikit ceroboh." Ucap seseorang yang memeluk- ah, menyelamatkanku. Tapi... ini kan suara... Vero?!

Aku cepat-cepat melepaskan diriku darinya.

"Lain kali hati-hati!" Ucap seorang bapak-bapak kepadaku. Aku membungkuk meminta maaf. Beliau hanya menggelengkan kepalanya lalu pergi.

"Gimana sih, lo? Jalan kok nunduk. Nyebrang gapake tengok kanan-kiri. Coba tadi kalo ga ada gue, atau gue telat narik elo, gimana coba?" Omel Vero panjang lebar.

Aku hanya diam memperhatikannya. Aku jalan menunduk? Aku bahkan ga sadar. Tapi.. kenapa Vero bisa ada disini? Bukannya terakhir kita ngomong, kita berantem lumayan hebat?

"Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" Ucap Vero lagi, masih dengan nada jengkel.

"Lo kenapa bisa disini? Dari kapan? Lo ngikutin gue?"

Vero tampak sedikit gugup. "Eh? Uh.. yah.. gue cuma takut lo kenapa-kenapa."

Aku menaikkan sebelah alisku, ragu. "Lo masih gapercaya gue bisa ngatasin masalah gue sendiri?" Aku berdecak, tak percaya bahwa Vero masih saja tidak mempercayaiku.

Vero diam. Dan aku rasa pernyataanku benar, bahwa Vero masoh tidak bisa mempercayaiku. Jadi aku berbalik, menyetop taksi.

Namun ketika aku baru membuka pintu mobilnya, Vero tiba-tiba bergumam, "gue percaya."

Aku terhenyak.

"Gue percaya." Ucapnya lebih yakin saat ini.

"Kalo lo percaya, jadi buat apa lo kesini?"

Vero diam lagi.

Dan aku memutuskan untuk masuk ke dalam mobil, menutup pintunya dan menyuruh sopirnya untuk mengantarku ke rumah.

Darahku masih mendidih, karena Gusti.

Tapi hatiku terasa nyeri, karena Vero.

Aku menyadari satu hal saat ini, bahwa sebenarnya.. aku sangat menginginkan kepercayaan Vero.

***

Ketika aku turun dari taksi yang sudah mengantarku sampai rumah, saat itu juga tangan Vero menggenggam tanganku, menarikku sedikit menjauh dari gerbang rumah.

"Apaan sih Ver?"

Vero terlihat.. kacau. "Lo juga gapercaya gue, Fen."

Aku terkejut. Kenapa tiba-tiba dia bilang kayak gitu?

"Lo bilang gue gatau apa-apa tentang lo, dan karena itu lo ngelarang gue nyatain cinta lagi ke lo.." dia berhenti sesaat lalu menatap manik mataku dalam. "Jadi, izinin gue untuk ngenal lo lebih dalam lagi."

Aku terhenyak. Tak bisa berkata apa-apa.

"Lo gamesti percaya sama gue, lo gamesti berbuat apa-apa. Lo cuma harus biarin gue kenal lo lebih jauh. Dan biarin gue buat lo jatuh cinta sama gue dengan sendirinya."

Lagi, aku terhenyak. Baru menyadari bahwa aku sudah membangun dinding kokoh nan tinggi dihatiku. Untuk membatasi siapapun yang ingin masuk. Tapi cowok ini... dia bilang ingin menghancurkannya. Dia bilang akan menghancurkannya. Walaupun sudah tau bahwa aku, sang pembuat dinding itu sendiripun tak bisa menghancurkannya.

"Dan biarin semuanya mengalir. Gue ga akan maksa lo lagi. Tapi walaupun gitu, sesuai sama yang lo omongin tadi.. kalau gue, sekalipun, ga akan ngelepasin orang yang gue cinta."

Air mata keluar begitu saja, deras. Aku menutupi wajah dengan kedua telapak tanganku, lalu menangis sekuat tenaga.

Ada orang yang begitu mencintaiku.. yang begitu berusaha sekuat tenaga agar aku melihatnya. Tapi justru aku meragukannya.

Ada orang yang takut aku terluka dan melindungiku sekuat tenaga. Tapi aku tidak mempercayainya.

Vero tersenyum tulus, tangan besarnya meraih kepalaku, mengelusnya. Lalu menarikku kedalam pelukannya.

Suara isak tangisku bercampuran dengan detak jantung milik Vero. Aku mendengarnya begitu cepat, dan kuat.
Kepalanya ia selipkan diantara leher dan bahuku.

"Makasih..." gumamnya lembut. "Karena udah percaya dan ngeluarin semuanya sama gue."

Tangisanku justru semakin keras, menyadari maksudnya adalah aku tak pernah terbuka dengannya. Menangispun selalu kututup-tutupi.

Aku menangis lama sekali. Mungkin banyak yang melihat kami seperti orang aneh. Tapi aku merasakan lega luar biasa.

Aku rasa, dinding yang menghalangi hatiku sudah rubuh bersamaan dengan pecahnya tangisanku di depan orang ini.

Dan mungkin, cowok yang menghancurkan dinding itu, sudah leluasa memasukinya.

Memasuki hatiku.

Between You And MeWhere stories live. Discover now