27

2.8K 114 6
                                    

Luna dan Alex terus membujukku untuk pulang setelah dua jam penuh menunggu hasil operasi Nick.

Papa Nick juga ada disini. Hanya berdiam diri setelah menceritakan bagaimana Nick masuk ruang operasi.

"Selepas kamu pulang mengunjungi Nick tempo hari, Nick batuk-batuk darah dan tak jarang muntah-muntah, yang isinya juga ada darahnya." ucapnya saat aku memberanikan diri bertanya. "Sebenernya hal itu udah kejadian bahkan dari dia masuk sekolah biasa. Tapi jarang banget. Makanya Om takut pas akhir-akhir ini frekuensinya bertambah. Nick juga disuruh periksanya susah. Dia gamau terus."

Aku mendengus sebal saat diceritakan seperti itu. Nick memang keras kepala. Bikin orang khawatir aja. Apa susahnya sih periksa ke dokter? Toh, itu juga buat kebaikan dia.

Seakan merasa hal yang sama dengan tanggapanku, papa nya kembali bicara. "Om rasa dia udah tau kalo cepat atau lambat dia bakal kena kanker hati. Seperti ibunya...." Aku sempat menangkap raut sedih diwajah Papa Nick.

"Dia juga minta buat sekolah biasa kayak orang-orang pada umumnya. Tentu om larang, tapi dia bilang ini kesempatan terakhirnya..." kalimatnya kembali bergantung. Ekspresi sedihnya begitu kental. "Dia banyak cerita tentang gimana capeknya sekolah sekaligus gimana senengnya dia ketemu temen-temen setiap hari. Dan gimana dia ketemu kamu, Fenny."

Aku mengerjap dan sadar bahwa aku terus melamuni kalimat Papa Nick tadi. Sedangkan Luna dan Alex masih membujukiku untuk pulang.

"Lo belum makan, Fen. Balik dulu yuk? Besok kita balik lagi deh. Ini lo lemes banget keliatannya."

Aku menghembuskan nafas berat untuk yang kesekian kali. Sebenernya bukan hanya masalah Nick yang mengganggu pikiranku. Aku tau Nick begitu penting. Dia temanku. Aku juga begitu khawatir padanya. Tapi hal tersebut tidak membuatku melupakan fakta bahwa aku begitu bingung mengenai kedatangan sosok Gusti kembali.

Tidak, aku tidak bingung mengenai Gusti, melainkan pada perasaanku sendiri.

"Fenny," aku menengok dan melihat Papa Nick melemparkan senyum tipis kearahku. "Kamu istirahat dulu aja, ya. Nanti perihal operasi, om bisa kasih kabar ke kamu. Jangan biarin diri kamu sendiri sakit, Fen."

Aku melihatnya ragu. Aku tidak mau meninggalkan Nick sedangkan lelaki itu sedang melawan rasa sakit didalam sana. Namun Papa Nick benar. Aku tak boleh membiarkan diriku sendiri sakit. Jadi aku, Luna dan Alex segera pamit.

"Makan dulu, ya?" tanpa menunggu jawaban dariku ataupun Luna, Alex segera melajukan mobilnya menuju salah satu restaurant paling dekat.

Aku tidak mempunyai nafsu makan. Tetapi aku tidak bisa membohongi diriku bahwa aku lapar. Lagipula aku nggak mau Luna sama Alex makin bawel nyuruh aku makan.

Jadi aku makan dalam diam.

Aku merasakan ponselku bergetar menandakan sebuah pesan masuk.

From: Alvero
lo dimana?

Aku memasukkan ponselku kembali tanpa membalas pesan Vero. Biarin, lah. Aku lagi gamau ketemu anak satu itu.

Aku hendak menyendokkan makanan didepanku ketika aku sadar sedang ditatap intens oleh kedua temanku itu.

"Apaansi liatnya gitu banget." ucapku setelah tak tahan ditatap seperti itu oleh mereka.

Luna berdehem. "Lo sakit? diem gitu dari tadi."

"Ya orang tadi dirumah sakit masa gue mau teriak-teriak." jawabku sekenanya.

Alex berdecak. "yakali cuma itu. Ketauan banget lo ada masalahnya. Muka lo kucel gitu."

Between You And MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang